IDENTITAS MAHASISWA SEBUAH KONSEKUENSI


Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik, dimana dalam catatan sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak perubahan. Keinginan yang kuat dalam menyongsong masa depan dan keterbukaannya melihat beragam sisi kehidupan, mendorong mahasiswa bangkit dari tiap keterpurukan. Dengan kombinasi luar biasa yang dimilikinya, mahasiswa mampu tampil di depan memegang kendali sebuah peradaban.

Berbagai perubahan besar dalam persimpangan sejarah negeri ini, senantiasa menempatkan mahasiswa dalam posisi terdepan. Misalnya, sebagai generator penggerak demokrasi, bahkan gerakan yang dibangun mahasiswa disebut sebagai pilar demokrasi yang kelima.
Namun hanya sedikit rakyat Indonesia yang dapat merasakan dan punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan hingga ke jenjang ini karena sistem perekonomian di Indonesia yang kapitalis serta biaya pendidikan yang begitu mahal sehingga kemiskinan menjadi bagian hidup rakyat. Dan pada akhirnya kesejahteraan dan pemerataan pendidikan menjadi hal klasik yang jarang dan mungkin mustahil untuk terjadi dalam hegemoni kekuasaan negeri saat ini.
Tak elak, mahasiswa kadang menjadi kaum elitis yang melupakan esensi sebuah identitas yang disandangnya. Identitas yang seharusnya menjadikan mahasiswa berpikir kritis dalam setiap tindakan, serta tidak hanya disibukkan dengan hedonisme semu yang mengantarkannya ke jurang kapitalis baru.
Oleh sebab itu seharusnya mahasiswa mampu dan cerdas dalam mengkritisi segala aspek yang ada disekitarnya. Sebagai agent of change, mahasiswa seharusnya menjadi motor keberpihakan sesungguhnya kepada kaum tertindas. Bukan malah menambah jumlah penindas di dunia ini.

Ada peran-peran yang harus dilakukan sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi otomatis dari identitas mahasiswa itu sendiri, diantaranya yang pertama peran moral mahasiswa dalam kehidupannya sebagai kaum intelektual muda. Jika hari ini aktifitas mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura) maka berarti telah menyimpang. Jika hari ini mahasiswa lebih suka mengisi waktu dengan agenda-agenda personal seperti pacaran, nongkrong di Mal tanpa ingin tahu tentang keadaan sosialnya, jika pada hari ini mahasiswa lebih mementingkan individu dengan segala kepentingannya tanpa memperhatikan sekelilingnya (realitas objektif) maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang hilang” yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang mahasiswa.

Yang kedua peran sosial, dimana mahasiswa dalam hal ini harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam (solidaritas sosial). Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan. Dalam peran ini hakekatnya mahasiswa tidak membiarkan begitu saja penindasan yang terjadi disekelilingnya, penindasan yang dilakukan kaum pemangku puncak kuasa untuk meruntuhkan eksistensi kaum marginal yang sampai-sampai rela mengembik untuk mempertahankan eksistensi diri.

Yang ketiga peran politik, mahasiswa hakekatnya mampu menciptakan kesinambungan politik yang dinamis dan berdasar pada keadaan objektif (rakyat) dalam menjalankan kehidupannya sebagai bagian dari rakyat. Pasca reformasi tahun 1998, peran politik mahasiswa sebagai kaum terpelajar dinamis yang penuh kreatifitas seakan bergejolak kembali saat sebelumnya terbelenggu oleh pemerintahan yang otoriter dimana membatasi ruang gerak demokrasi. Dalam peran ini kadang mahasiswa dibutakan oleh hal-hal duniawi (uang) ataupun suatu ideologi sempit yang dapat membutakan mata sehingga bertindak secara subjektif dalam menjalankan segala kepentingannya.

Ketiga peran ini seharusnya sinergis berpadu dengan peran akademik mahasiswa sebagai bagian dari ruang pembelajaran kaum intelektual muda. Dimana kadang realitas sekarang menjadi dilema, dalam artian banyak mahasiswa yang hobinya kuliah namun tak mau tahu tentang segala hal berkenaan dengan kehidupan sosial politiknya, sehingga banyak anggapan berilmu untuk dirinya sendiri (Percuma!!).

Mahasiswa seharusnya tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi problematika vertikal maupun horizontal yang ada disekelilingnya. Dengan bertolak pada keadaan yang riil, menjadikannya mampu bertindak dan mengambil peran penting sebagai hakekat dari pemegang identitas agent of change maupun director of change.

Komentar

Postingan Populer