SQ: Psikologi dan Agama
KH. Jalaluddin Rakhmat
Psikoanalisis
Psikoanalisis,
disebut juga depth psychology, mencari sebab-sebab perilaku manusia pada dinamika jauh di dalam dirinya
–pada alam bawah sadarnya. Sigmund Freud, bapak mazhab ini, adalah seorang
neurolog yang hidup di Wina pada akhir abad
kesembilan belas. Waktu itu, ilmu
kedokteran masih sedikit sekali mengungkapkan sebab-sebab penyakit -baik fisik
maupun mental. Salah satu penyakit
yang banyak terjadi adalah histeria. Penderita menunjukkan
masalah-masalah fisik tanpa ada sebab-sebab fisik yang diketahui. Freud
menghipnotis pasiennya untuk menghilangkan gejala-gejala histerisnya.
Joseph Breuer, sejawatnya,
melaporkan satu kasus. Dalam hipnotis, pasien dapat mengingat dan memahami pengalaman
emosional yang menjadi penyebab gejala.
Kedua dokter ini kemudian menggunakan hipnotis untuk menangkap kembali
memori yang terlupakan. Tidak semuanya berhasil. Lagi pula, sebagian pasien
sulit dihipnotis; dan dampak positifnya tidak berlangsung lama. Dari sini,
Freud mulai mengembangkan metode psikoanalisis untuk mendorong pasien menggali ingatan lamanya tanpa
hipnotis.
Dalam pandangan Freud, semua
perilaku manusia, baik yang tampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi
(pikiran), disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Ada peristiwa mental
yang kita sadari; ada yang tidak kita sadari tetapi gampang kita akses (pre-concious),
dan ada yang sulit kita bawa ke alam sadar (unconscious). Yang terakhir ini yang paling banyak menarik
perhatiannya. Di alam bawah sadar inilah tinggal dua struktur mental, yang merupakan bagian terbesar dari
gunung es kepribadian kita. Id,
reservoir energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan saja; dan superego, reservoir
kaidah moral dan nilai-nilai sosial, yang diserap individu dari
lingkungannya. Di puncak gunung es, ada ego, yang berfungsi sebagai pengawas realitas. Apa
yang Anda lakukan sekarang adalah hasil interaksi –sebetulnya konflik- di
antara ketiga struktur mental itu. Anda jatuh cinta pada sekretaris Anda. Id
berkata, “Peluklah dia!” Ego berkata, “Cek apakah dia juga suka padamu.” Dan
superego menegur, “Haram Anda melakukannya.” (Saya sangat tidak suka dengan
contoh ini, karena kuatir akan
menyinggung banyak di antara Anda). Sambil mengulangi yang sudah
jelas, kebanyakan dari konflik ini
terjadi di alam bawah sadar Anda.
Sesuai dengan perkembangan
kepribadian kita, pada masa-kanak kita dikendalikan sepenuhnya oleh id. Pada
tahap ini berlaku proses berpikir yang disebut Freud sebagai primary process
thinking, berpikir proses pertama. Anak tidak dapat membedakan antara yang
real dan tidak real, antara “aku” dan “bukan aku”, dan tidak mampu menekan
impuls. Ia ingin memenuhi keinginannya waktu itu juga. Jika tidak dapat
memuaskan kebutuhannya, ia tidak mampu menangguhkannya sampai nanti, tetapi
berusaha mencari penggantinya. Jika bayi tidak memperoleh botel susunya, ia
akan mengisap ibu jarinya.
Pada anak-anak yang lebih tua dan
orang dewasa, ego sudah berkembang. Mereka mengikuti berpikir proses kedua, secondary
process thinking. Ia sudah belajar menangguhkan pemuasan keinginannya untuk
sesuatu yang lebih bagus. Ia menghindari makan yang enak, untuk bisa menyimpan
uangnya. Anda sembunyikan cinta Anda kepada sekretaris Anda, sebelum investasi Anda padanya memadai. Seorang
dewasa juga tidak begitu saja mengganti pemuas kebutuhannya, karena tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang awal. Walaupun begitu,
pada orang dewasa sesekali muncul berpikir proses pertama. Ketika di
kantor bos Anda memarahi Anda, Anda pulang dan memukuli anak Anda. Bos Anda
digantikan dengan anak Anda. Jika pola berpikir anak-anak ini menguasai seorang dewasa, terjadilah perilaku abnormal.
Jika ada proses pertama dan kedua,
adakah proses ketiga? Ada, kata Danah Zohar,
lebih dari satu abad kemudian. Proses pertama adalah EQ, proses kedua
IQ, dan proses ketiga SQ. SQ inilah yang menghubungkan rasio dengan emosi,
pikiran dan tubuh. Inilah pusat diri yang memberikan makna, dengan memadukan
material yang berasal dari kedua proses sebelumnya. Jika Freud melacak perilaku abnormal pada
proses primer yang mendominasi orang dewasa, Zohar merujuk pada kecerdasan
spiritual yang rendah. Apakah SQ adalah pikiran yang didominasi superego?
Bukan, karena superego hanyalah menyerap nilai-nilai dari orang tua dan
masyarakat, sedangkan SQ secara kreatif menciptakan nilai-nilai baru. Dengan SQ
kita menyembuhkan diri kita, yang sudah tercabik-cabik karena kekosongan
eksistensial. “We use SQ to deal with existential problems,” tulis Zohar.
Dari sudut pandang ini, psikonalisis
klasik tampak sangat lemah. Ia mampu
menjelaskan penyakit psikis akibat luka lama dari masa kecil kita; tetapi ia
bisu ketika berhadapan dengan derita karena kekosongan eksistensial, karena
kebingungan dalam memberikan makna. Ia
sangat terampil dalam menganalisis konflik di antara daya-daya psikis –antara
impuls dengan pertahanan, jiwa versus tubuh, maturasi dan regresi, id versus
superego, seks versus agresi. Ia hanya melihat psikhe sebagai pejuang yang
bekerja keras untuk menyembuhkan luka-lukanya akibat konflik itu. Menurut
Freud, tujuan psikoanalisis adalah mengurangi
derita neurotis menjadi ketakbahagiaan yang biasa –“not a particularly
inspiring or ennobling goal for human existence,” (Cortright, 1997).
Di antara murid-murid pertama Freud
yang kecewa dengan tujuan psikoanalisis ini adalah Carl Gustav Jung. Seraya memuji Freud sebagai penemu dan pengungkap “ruang-ruang
gelap” dari ketak-sadaran manusia, ia juga mengecam gurunya karena penekanan
yang berlebihan pada seksualitas. Ketaksadaran bukan hanya terdiri dari
komponen instingtual tetapi juga spiritual.
Jiwa kita bukan hanya mengandung the
personal unconscious, himpunan dari
pengalaman dalam kehidupan kita; tetapi juga the collective unconsious, simpanan pengalaman yang dihimpun oleh
nenek-moyang kita selama jutaan tahun, “sejarah tak tertulis” dari kemanusiaan
sepanjang masa. Psikologi terlalu rendah jika hanya bertujuan mengurangi
neurosis. Psikologi harus membantu manusia untuk menyambungkan dirinya dengan kedua
alam tak-sadar ini. Jung menyebut individuation sebagai proses
pengintegrasian the collective unconscious dalam kesadaran
individu. Individuation, menurut
Jung, adalah “the unfolding and integration of human individuality...is a
lifelong process by which what is potential in a human being is brought to
realization and is integrated into the wholeness of a mature life.”
The collective unconscious
dilanjutkan dari generasi ke generasi melalui arketip (archetypes),
bentuk dan citra universal yang terdapat pada mitos-mitos dari berbagai
kebudayaan. Ketika berbicara tentang akar-akar kepribadian mnusia, Danah Zohar
mengacu kepada dewa-dewa dalam mitologi Yunani. Dewa-dewa itu adalah arketip.
Arketip mengorganisasikan ide dan citra, menentukan isi dan arah proses psikis.
Kita tidak dapat mengetahui arketip secara langsung; kita hanya dapat
menyimpulkannya dari arah dan bentuk pengalaman manusia. Sebagaimana insting
mengatur tindakan sadar secara
teratur dan seragam, arketip mengatur persepsi sadar secara teratur dan seragam pula.
Sambil menghindari istilah-istilah
teknis yang melelahkan (bukankah psikologi, seperti ekonomi, hanyalah anggapan
umum yang dibikin sulit), saya ingin mengutip Cortright (1997, h.82-83);
“The collective unconscious
mengandung di dalamnya arketip, atau bentuk universal yang membentuk psikhe dan
mengorganisasikan pengalaman psikologis. Contoh arketip antara lain anak Tuhan,
ibu agung, bidadari, tukang sihir, ksatria, penipu, orang tolol, penyembuh yang
luka, raja, ratu, orang tua yang bijak, dan seterusnya. Kesehatan psikologis
adalah kemampuan untuk membiarkan arketip ini memasuki kita, memberikan bentuk
pada pengalaman psikologis kita dengan mengorganisasikan pikiran, perasaan, dan
tindakan kita. Derita dan tekanan psikologis timbul karena hanya mampu
mengidentifikasi beberapa arketip saja, sehingga membatasi jati diri dan
perasaan.
“Misalnya, jika jati diri seseorang
adalah memainkan peran bos yang galak di tempat kerja dan ia tidak dapat
memasukkan ke dalam pengalamannya arketip yang lainnya ketika ia pulang,
misalnya sebagai anak abadi, pecinta, si tolol –jika ia hanya memainkan lakon
bos yang galak ketika ia bermain-main dengan anak-anaknya atau bercinta dengan
istrinya, maka kehidupannya akan sangat terbatasi. Kekayaan pengalaman dari
perasaan, kreativitas, dan spontanitas kehidupan tidak dapat mengalir ke dalam
dirinya.
“Makna utamanya ialah membuka diri
kepada arketip yang lain atau energi universal dan membiarkan energi ini
mengisi pengalaman kita. Pusat arketip psikhe adalah the self. The
self digambarkan sebagai mandala yang merupakan citra the self,
arketip pusat. Jung percaya bahwa kita tidak dapat secara langsung mengalami the
self, tetapi ia harus diketahui secara tidak langsung. Kita mendapat
bimbingan dan pengarahan dari padanya melalui simbol mimpi dan citra. Citra
yang menggambarkan the self
berubah ketika orang bergerak menuju arah yang baru. The self itu
sendiri tetap sama, tetapi gambaran the self berubah dan perlu
diperbaharui secara periodik. Ketika psikhe yang sedang mengalami individuasi
bergerak, citra mitos dan simbolik yang baru akan muncul pada ego yang
mengungkapkan gerakan ini. Ego sadar kemudian perlu diorganisasikan kembali
sesuai dengan garis-garis yang ditunjukkan oleh the self. Reorganisasi
terjadi pada dua tingkat: ego sadar dan kedalaman arketipal.
“Menurut Jung, ego berkembang pada
paruh pertama kehidupan dan difokuskan pada dunia dan tindakan –melakukan
sesuatu, menjalankan, membentuk ego independen, dan mencapai kemampuan tertentu
di dunia. Tapi pada usia 35 sampai 45 atau lebih tua, pada paruh baya, ego yang
dewasa mulai menderita perasaan keterasingan dan kehilangan makna. Ia mulai
menengok ke dalam. Separuh kehidupan kedua ditandai dengan memusatkan perhatian
pada kehidupan batiniah dan memunculkan apa-apa yang belum dikembangkan pada
paruh kehidupan yang pertama. Misalnya, jika bagian psikhe yang aktif, bersifat
maskulin, “berbuat” (doing) dominan pada paruh yang pertama, sisi psikhe
yang feminin, “mengada” (being) akan menjadi lebih dominan pada paruh
yang kedua. Jika orang tidak mau mendengarkan gerakan batiniah ini, ia akan
mengalami derita psikis yang makin berat, kekosongan dan alienasi”
Pembagian kehidupan manusia pada dua paruh –pagi dan petang- kelak ditambahkan setalah tahap pertama
perkembangan dalam psikologi transpersonal. Tahap pertama, pre-egoic adalah masa pra-Oedipus ketika ego yang lemah dan
belum berkembang dikuasai oleh the collective unconscious. Pada tahap kedua, pada pagi hari kehidupan,
ego yang mendewasa melepaskan diri dari padanya. Pada tahap ketiga, pada sore
hari kehidupan, ego yang kuat dan dewasa diserahkan dan disatukan kembali
dengan the collective unconscious. Di sini manusia menempuh perjalanan panjang
menuju kedalaman ruhnya. Inilah kehidupan spiritual.
“Kehidupan spiritual –kehidupan yang ditempuh mengikut sebuah cita-cita- di
mana orang dengan tabah memilih jalan hidupnya,
menuntut kehidupan yang melintasi konvensi-konvensi sosial, moral,
religius, politis, dan filosofis. “Anak-anak sejati” Tuhan adalah ia yang
berani melanggar konvensi dan mengambil “jalan curam dan sempit” menuju dunia
yang tak diketahui. Kehidupan seperti itu, menurut Jung, disebut “vocation”:
berpisah dengan kelompok dan mengurbankan diri untuk memenuhi ‘panggilan’.
Individu dipanggil untuk mengikuti bintangnya, untuk mentaati hukumnya, untuk
mendengarkan bisikan dari ruhnya yang terdalam –his inner spirit.” (Fuller, 1994, hal. 104). Jika manusia tidak mau mendengarkan suara
batinnya, ia akan mengalami neurosis. Ia
akan terhambat dalam perkembangan kesadarannya.
Pada tangan Jung, alam tak sadar Freud yang instingtif-seksual berubah
menjadi reservoir energi spiritual. Tidak heran ketika Freud meminta Jung untuk
berhenti berbicara tentang spiritualitas, Jung menolaknya. Ia kemudian
dikucilkan dari komunitas psikoanalisis.
Perbantahan di antara keduanya tergambar dalam obrolan mereka di rumah
Freud di Wina. Mereka memperbincangkan parapsikologi. Jung menjelaskan gejala
psikologis dengan mengakui keberadaan ruh. Freud membantahnya. Tiba-tiba
terdengar suara keras dari lemari buku. Kata Jung, suara keras itu mencerminkan
topik parapsikologi yang mereka perbincangkan. Ia meramalkan bahwa suara itu
akan terdengar lagi. Freud mebantah
kedua “teori” Jung. Dan sekali lagi suara keras itu terdengar. Tidak lama
sesudah itu, Freud menulis surat kepada Jung. menyatakan bahwa terulangnya
suara keras setelah Jung pergi meyakinkan Freud bahwa pengalaman spiritual itu
tidak penting. Jung sendiri tetap bersikukuh dengan pendapatnya dan melahirkan
konsep sinchronicity, “kebetulan yang berarti” yang menunjukkan hubungan antara psikhe manusia
dengan peristiwa psikis. Dentuman keras dari balik lemari buku adalah
manifestasi arketip dari the collective unconscious. Adalah tugas kita
untuk memperhatikan simbol-simbol itu dan mempergunakannya untuk membimbing
kehidupan kita.
Banyak pengikut psikoanalisis mengkritik Jung karena meromantiskan the
unconscious, dan selama hampir satu abad cahaya Jung berkerlip di hadapan
gemerlap Freud. Menjelang milenium ketiga, dengan kehadiran psikologi
transpersonal, Jung menjadi sangat popular. Tetapi sebelum sampai ke psikologi
transpersonal, psikologi Jungian harus melewati dahulu sentuhan psikologi humanistik –melalui Viktor
Frankl, murid Alfred Adler, yang pada gilirannya murid Freud yang mengambil jalan berbeda dari gurunya.
Psikologi Humanistis
Psikologi
humanistis muncul pada pertengahan abad kedua puluh sebagai reaksi terhadap
behaviorisme dan psikoanalisis. Keduanya dianggap telah mereduksi manusia
sebagai mesin atau makhluk yang rendah. Psikoanalisis berkutat pada
insting-insting hewani dan memahami manusia dari perilaku pasien. Abraham
Maslow, salah seorang perintis angkatan ini, berkata, “Dengan sedikit
menyederhanakan, kita dapat menyatakan bahwa Freud seakan-akan memasok kita
dengan separuh psikologi yang sakit, dan sekarang kita harus mengisinya dengan
paruh lainnya yang sehat” (Maslow, 1968). Alih-alih meneliti manusia-manusia
yang sakit, tidakkah lebih berguna mengumpulkan keterangan mengapa orang itu
sehat, bagaimana orang dapat tetap hidup
bahagia di tengah-tengah penderitaan yang dialaminya. Dalam kehidupan kita menemukan orang yang
bahagia dalam situasi dan kondisi tertentu; juga orang yang bahagia dalam situasi dan kondisi apa pun.
Simaklah pengalaman Viktor Frankl.
Pada perang dunia kedua, ia dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi Nazi yang
mengerikan. Setiap hari ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam -penyiksaan,
penembakan, pembunuhan massal di kamar gas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat
peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan: berkorban untuk rekan, kesabaran
yang luar biasa, daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang putus
asa, yang mengeluh, “Mengapa semuanya ini terjadi
padaku? Mengapa aku harus menanggung derita ini”, ada juga para tahanan yang
berpikir, “Apa yang harus aku lakukan bahkan dalam situasi yang mencekam
seperti ini.” Yang pertama umumnya
berakhir dengan kematian. Yang kedua banyak yang berhasil lolos dari lubang
jarum kematian.
Yang membedakan keduanya adalah
pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan
oleh pagar kawat berduri sekalipun. Dan itu adalah kebebasan untuk memilih
makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan
analisa mimpinya, Frankl menentang Freud ketika ia menganggap dimensi spiritual
manusia sebagai sublimasi dari insting hewani. Sambil memuji Jung karena
mengungkap keberagamaan yang tak sadar, ia mengkritik Jung karena psikologismenya.
Dengan landasan fenomenologis, Frankl membantah keduanya yang menjelaskan
perilaku manusia sebagai akibat dari proses psikis saja. Baginya, pemberian
makna berada di luar semua proses psikologis. Ia mengembangkan teknik
psikoterapi yang disebut logoterapi (logos = makna).
Logoterapi memandang manusia sebagai
totalitas yang terdiri dari tiga dimensi: fisik, psikologis, dan spiritual.
Untuk memahami diri dan kesehatan kita harus memeprhitungkan ketiganya. Selama
ini dimensi spiritual diserahkan kepada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara
untuk urusan fisik dan psikologis. Kedokteran, termasuk psikoterapi telah
mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan. Tanpa
memperhitungkan dimensi spiritual, kita akan melihat Dostoevski sebagai
penderita epileptik dan Jean D’Arc sebagai skizopren.
“Dimensi spiritual, disebut Frankl
sebagai noos, yang mengandung semua sifat yang khas manusia seperti
keinginan kita untuk memberi makna, orientasi tujuan kita, kreatifitas kita,
imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa,
kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang visio-psikologis,
kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali super-ego, selera humor
kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasan diri kita atau kemampuan untuk
melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan
untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini.
Dalam dunia spirit, kita tidak dipandu; kita adalah pemandu, pengambil
keputusan. Reservoir kesehatan ada pada setiap orang, apa pun agama dan
keyakinannya. Kebanyakan dari reservoir ini terdapat di alam bawah sadar kita,
adalah tugas seorang logoterapis untuk menyadarkan kita akan perbendaharaan
kesehatan spiritual ini.” (Fabry, 1980, halaman 81)
Frankl memberikan kontribusi banyak
pada perumusan kecerdasan spiritual Danah Zohar. Pembahasan logoterapi tidak
mungkin dituliskan di sini. Tetapi saya tertarik untuk mengungkapkan penemuan
logoterapi yang dapat melengkapi kiat-kiat mengembangkan kecerdasan spiritual,
di samping apa yang ditulis danah Zohar dalam bukunya tentang SQ. Ada berbagai
teknik untuk mengungkap makna; tetapi ada lima situasi ketika makna membersit
ke luar dan mengubah jalan hidup kita –menyusun kembali hidup kita yang porak poranda. Pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri
kita (self-discovery). Sa’di,
penyair besar Iran, pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika ia sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya,
ia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria. Tampak dalam
perhatiannya bahwa penceramah itu
puntung kedua kakinya. Tiba-tiba ia disadarkan. Segala kejengkelannya mencair.
Ia sedih kehilangan sepatu, padahal di sini ada orang yang tertawa ria walaupun
kehilangan kedua kakinya.
Kedua, makna muncul ketika kita menentukan pilihan.
Hidup menjadi tanpa makna, ketika
kita terjebak dalam satu keadaan; ketika kita tidak dapat memilih. Seorang
eksekutif pindah dari Bandung ke Jakarta. Ia mendapat posisi yang sangat baik
dengan gaji yang berlimpah. Tetapi, ia juga kehilangan waktu untuk berkencan
dengan keluarga dan anak-anaknya. Ia ingin mempertahankan jabatannya dan ingin
punya waktu lebih banyak untuk keluarga. Pada suatu hari, ia berdiri di depan rapat pimpinan dan
menyatakan mengundurkan diri. Saat itu, ia merasakan kebahagiaan menemukan
kembali makna hidupnya.
Ketiga, makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, tak tergantikan oleh orang lain. “Aku
senang bersama cucuku,” kata seorang kakek. “Ia suka bilang ‘Ikuti aku, opa’
dan aku menuruti semua kemauannya. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukan
itu baginya. Ibunya juga tidak, karena terlalu sibuk.” Seorang mahasiswa merasa sangat bahagia
ketika Margaret Mead menanyakan pendapatnya. “Bayangkan, seorang Margaret Mead
menanyakan pendapatku!” Untuk
mendapatkan pengalaman seperti itu, kata
Fabry, kita tidak selalu memerlukan Margaret Mead. Carilah orang yang mendengarkan kita dengan
penuh perhatian, kita akan merasa hidup kita bermakna.
Keempat, makna membersit dalam tanggung jawab.
Fabry berkisah tentang seorang perempuan yang berlibur ke Acapulco tanpa
suaminya. Di sana ia berkenalan dengan seorang anak muda yang tampan. Ia jatuh
pada rayuannya. Ketika pemuda itu mohon diizinkan untuk mengunjunginya di kamar
hotelnya, perempuan itu menyetujuinya. Ia tidak pernah selingkuh, tetapi ia
sudah berpisah dengan suaminya selama dua minggu. Ada hasrat seksual yang
bergejolak. Ia menunggu pemuda itu dengan penuh gairah. Tetapi ketika ia
mengetuk pintu kamarnya, perempuan itu merasakan sengatan keras di jantungnya.
Ketika ketukan pintunya itu makin keras, ia teringat suaminya. Ia memutuskan
untuk tidak membuka pintu. “Lalu,” kata perempuan itu, “aku mendengar
langkah-langkah kakinya menjauh. Aku menengok dia lewat jendela. Ketika aku
melihatnya pergi, aku mengalami perasaan bahagia yang paling intens dalam
hidupku.”
Kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi,
gabungan dari keempat hal yang di atas. Ketika kita mentransendensikan diri
kita, kita melihat seberkas diri kita yang otentik, kita membuat pilihan, kita
merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi, kata Zohar,
adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar pengalaman kita
yang biasa, ke luar suka dan duka kita,
ke luar diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman
transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir –ultimate
meaning- yang menyadarkan kita akan aturan agung yang mengatur alam
semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita
lakukan mengikuti rancangan besar, yang ditampakkan kepada
kita. Tidak jadi soal apakah ia berasal dari the collective unconscious-nya
Jung atau dimesi spiritualnya Frank.
Sambil dengan cepat melewati Maslow,
yang menyebut pengalaman ini sebagai
“peak experience” atau “plateau”, kita meloncat kepada angkatan keempat psikologi transpersonal.
Psikologi Transpersonal
Menurut Maslow, pengalaman keagamaan adalah “peak experience”, “plateau”,
dan “farthest reaches of human nature.”
Karena itu, psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali dalam
pandangan spiritual dan transpersonal. Ia menulis, “I should say also that I
consider Humanistic, Third Force Psychology, to be transitional, a preparation
for a still “higher” Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centered
in the cosmos rather than in human needs and interests, going beyond humanness,
identity, self-actualization, and the like.” (Maslow, 1968, iii-iv)
Di atas segala kritiknya terhadap
angkatan-angkatan sebelumnya, psikologi transpersonal hanyalah kelanjutan dari
psikologi humanistik, yang pada gilirannya melanjutkan pemikiran Jung dan
Frankl. Kita juga harus menyebut William
James, yang dalam beberapa hal, mempengaruhi pemikiran Jung. Psikologi
transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologis dengan tradisi
agama-agama besar di dunia. Ia ingin mengambil pelajaran dari kearifan perenial
-philosophia perennis.
Sepanjang zaman manusia bertanya,
“Siapakah aku?” Tradisi keagamaan
menjawabnya dengan menukik jauh ke dalam, “wujud spiritual, ruh.” Praktek-praktek keagamaan mengajarkan kita
untuk menyambungkan diri kita dengan bagian diri kita yang terdalam ini.
Psikologi moderen menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam),
“Self, ego, eksistensi psikologis” dan psikoterapi adalah perjalanan psikologis
untuk menemukan Diri ini. Psikologi
transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari
semua angkatan psikologi dan kearifan perenial agama. Ia mengajarkan
praktek-praktek untuk mengantarkan manusia kepada kesadaran spiritual, di atas
id, ego, dan superego-nya Freud.
Agama-agama berbicara tentang
kesadaran spiritual yang luas dan multidimensional. Diri kita, eksistensi psikologis kita,
hanyalah penampakan luar dari esensi spiritual kita. Penjelasan psikologis yang
hanya berkutat pada penampakan luar jelas tidak memadai. Menyembuhkan gangguan
mental dengan menggarap Diri lahiriah kita sama saja dengan mendorong mobil
mogok tanpa memperbaiki mesinnya.
Cortright (1997, halaman 9) menulis, “Studi sedalam apa pun tentang
genetika, biokimia, atau neurologi, pada satu sisi, atau sistem keluarga, interaksi ibu-anak, dan pengalaman
masa kecil pada sisi yang lain, atau dengan perkataan lain, tidak ada
penjelasan apa pun, yang memperhitungkan hanya penampakan luar dari masalah nature
(tabiat) dan nurture (lingkungan),
dapat memberikan jawaban memuaskan pada masalah fundamental kehidupan. Hanya
denagn memandang ke dimensi spiritual, yang memasukkan dan sekaligus
mentransendenkan warisan dan lingkungan, kita dapat menemukan jawaban yang
tepat untuk masalah eksistensi manusia.”
Sejak 1969, ketika Journal of
Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi
mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian
dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience,
pengalaman mistikal, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi
transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual. Dalam kerangka inilah, Zohar mendefinsikan
kecerdasan spiritual sebagai “kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri
kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah
kecerdasan yang kita pergunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang
ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.” Sayangnya,
Danah Zohar masih terikat dalam pemikiran psikologis dari angkatan-angkatan
sebelum psikologi transpersonal.
Marsha Sinetar dan Khalil Khavari menyampaikan definisi kecerdasan
spiritual yang lebih sesuai dengan perkembangan psikologi mutakhir. Menurut
Sinetar, “Kecerdasan spiritual adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan
dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan
ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.” (Sinetar, 2000 halaman
17)
Menurut Khalil Khavari, “Kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi
non material kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua
memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga
mengkilat dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh
kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual
dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan
tampaknya tidak terbatas” (Khavari, 2000 halaman 23). Dengan nasihat Khavari di
benak kita, bacalah buku SQ dari Danah Zohar. Mudah-mudahan ia mampu
mengantarkan Anda pada pencerahan spiritual; atau paling tidak, pada pemaknaan
yang mengubah hidup Anda menjadi lebih bahagia.
Bibliografi
Brown, N. 1959. Life Against Death. Middletown:
Westleyan University Press.
Coleman, J.C. 1976. Abnormal Psychology and Modern
Life. Illinois: Scott, Foresman and Company,
Cortright, B. 1997. Psychotherapy and Spirit: Theory
and Practice. State University of New York.
Fabry, J. 1980. “Use of the Transpersonal In
Logotheraphy”, dalam S. Boarstein, Transpersonal Psychology, Palo
Alto: Science and Behaviour Books.
Fuller, A.R. 1994. Psychology and Religion.
London: Rowman and Littlefield.
Hunts, M. 1982. The Universe Within. New York:
Simon and Schuster.
Khavari, K. 2000. Spiritual Intelligence. Ontario:
White Mountain Publications.
Maslow, A. 1968. Toward a Psychology of Being.
Princeton: Von Nostrand
Sinetar, M. 2000. Spiritual Intelligence. New
York: Orbis Books.
Shorto, R. 1999. Saints and Madmen. Henry Holt
co.
Kata pengantar KH. Jalaluddin Rakhmat pada buku karya Danah Zohar dan Ian
Marshall berjudul SQ (Spiritual Quotient); Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penerbit
Mizan, Bandung 2001
Komentar
Posting Komentar