REFORMASI BIROKRASI DAN TANTANGAN DI ERA KEKINIAN
1.1
Kendala Dalam Proses Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah suatu proses
transformasi mindset dan culture set yang terarah pada tatanan birokrasi yang
efektif dan efisien sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal
kepada masyarakat. Dan hal tersebut sesungguhnya membutuhkan proses yang
panjang mengingat reformasi birokrasi hendaknya dapat dilakukan secara bertahap
dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya,masih begitu banyak kendala yang
dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih
takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya
merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri.
Visi dalam reformasi birokrasi ini adalah “terwujudnya pemerintahan yang amanah atau
terwujudnya tata kepemerintahan yang baik” (good governance). Dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tidaklah
terlepas dari visi dari penerapan sistem
reformasi birokrasi karena inilah yang menjadi acuan pokok dari
pelaksanaan sistem reformasi birokrasi agar dapat terlaksana dengan baik dalam
mewujudkan “Good Governance”.
Namun, dalam pelaksanaannya masih begitu banyak kendala yang
dihadapi proses reformasi birokrasi saat ini. Semua itu dikarenakan masih
takutnya pemerintah dalam mengambil dan menanggung resiko yang nantinya
merupakan dampak atau konsekuensi atas reformasi birokrasi itu sendiri.
Reformasi birokrasi sesungguhnya memang sesuatu yang cukup sensitif dan
beresiko karena menyangkut masalah kebiasaan, aparatur dan sistem kerja dalam
pelayanan.
Berdasarakan hal tersebut, terdapat bebarapa hambatan yang
masih dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini yaitu :
a.
Sulitnya menerapkan dimensi cultural
dalam reformasi birokrasi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pada hakekatnya
reformasi adalah melakukan suatu perubahan yang mendasar terhadap nilai –
nilai, kebiasan serta budaya – budaya yang telah berkembang dalam perjalanan
birokrasi selama ini. Oleh karena itu, dalam melakukan reformasi birokrasi
harus diterapkan suatu dimensi reformasi yang mampu menyelesaikan masalah dan
bukan hanya menyentuh gejala permasalahan yang ada, yang justru akan
menimbulkan masalah baru nantinya.
Reformasi birokrasi tidak dapat terlaksana secara optimal
karena belum menyentuh hal yang paling mendasar yaitu “kultur”. Selama ini
reformasi birokrasi hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan,
tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas pada tataran
pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang sebagai
produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur birokrasi hanya dapat tumbuh
karena orang mengalami realitas pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang
melahirkan seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari membentuk gagasan
– gagasan serta sikap model mentalitas birokrat sejati.
Penerapan dimensi cultural tetap merupakan hal yang sulit
karena mengandung tiga elemen utama yaitu mengubah keniasaan, meyentuh perasaan
dan mengubah pola pikir. Kebiasaan menjadi suatu hal yang memiliki tingkat
kesulitan paling tinggi karena hampir sebagian besar organisasi pemerintah
memiliki karakter fundamental yang sama yang membentuk kultur mereka. Selain
itu, perlu disadari pula bahwa sangat sulit untuk mencoba meyakinkan pegawai
untuk melepas komimen lamanya dan mengembangkan seperangkat omitmen yang baru
dan berbeda karena ini menyangakut hal yang bersifat pribadi.
Penerapan dimensi cultural memiliki dampak pada tiap
pendekatan yang dilaksanakan, akan tetapi dimensi mengubah kebiasaan menjadi
hal yang paling sulit dilakukan. Padahal mengubah kebiasaan seseorang akan
lebih mudah menghentikan ikatan emosianal negative yang pernah ada dan
merupakan langkah awal untuk merubah kultur birokrasi.
b.
Upaya pembenahan organisasi dan
pembinaan sumber daya manusia yang masih
belum optimal.
Kebutuhan aparat yang kompeten dan professional menjadi
suatu hal yang mutlak diperlukan dalam proses reformasi birokrasi saat ini.
Perlu disadari bahwa birokrasi pemerintahan sebagai instrument teknis
penyelenggaraan kebijakan memiliki peran yang sangat penting dan strategis
dalam menentukan efektivitas kebijakan, yang seluruhnya sangat ditentukan oleh
aparat yang dilibatkan.
Birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan dominan,
dipengaruhi oleh kemampuan dan etika moral aparat yang keberadaaanya dikaitkan
dengan tertib administrasi pelayanan intern maupun ekstern dengan
mengesampingkan penonjolan kekuasaan dan kepentingan pribadi pada aktivitas
para aparatur birokrasi. Dalam hal ini satu hal yang juga menjadi suatu
hambatan dalam proses reformasi birokrasi adalah bagaimana mempersiapkan sumber
daya manusia yang memang memiliki kompetensi yang mampu memberikan pelayanan
publik secacra maksimal. Hal tersebut memiliki keterkaitan dengan proses
rekruitmen para pegawai yang dari awal memang sudah menuai berbagai kontroversi
misalnya cara perekrutan yang kurang transparan, maraknya isu penjualan nilai
test dan isu – isu lain yang sesungguhnya sangat berpengaruh pada pelayanan yang
akan diberikan setelah pegawai itu bertugas.
c.
Keterbatasan kemampuan keuangan
negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi membutuhkan
pendanaan yang cukup untuk mendukung setiap kebijakan yang diambil baik itu
melalui reformasi kelembagaan, tata laksana, maupun sumber daya manusia.
Masalah sumber daya manusia menjadi hal yang sensitive dengan hambatan ini
karena berbicara masalah pegawai, terkait pula dengan kesejahteraan pegawai itu
sendiri.
Manajemen reward and punishment memang menjadi dasar bagi
pemerintah memberikan suatu “dorongan” dan motivasi para pegawai dan aparatur
untuk meningkatan kinerjanya dalam upaya mengoptimalkan pelayanan publik. Namun
sayangnya, belum semua pegawai dapat ditingkatkan kesejahteraannya, mengingat
pendanaan negara yang belum dapat mencakup keseluruhan pegawai yang ada.
Di lain pihak, ada pula pihak yang berpendapat bahwa dengan
hanya menaikkan gaji para pegawai yang selama ini sudah berlaku, tidak serta
merta membawa dampak yang positif bagi kenerja birokrat yang ada. Namun sebagai
sebuah upaya yang dapat dicoba, pemerintah hendaknya dapat menggunakan
kewenangannya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawai sehingga
dapat mencegah perilaku korup dan meningkatkan kinerja para pegawai.
d.
Masih banyaknya pandangan negative
tentang birokrasi.
Birokrasi memang telah menjadi sebuah hal yang begitu
dipandang negative oleh masyarakat, perilaku korup, suka menunda pekerjaan,
kurangnya deskripsi pekerjaan yang dimiliki para pegawai, serta tingkat
disiplin yang minim, menjadikan aparatur birokrasi “terlanjur” buruk di mata
masyarakat.
Maka dari itu, saat upaya reformasi birokrasi muncul, banyak
masyarakat yang memandang sebelah mata. Tidak jarang ketika beberapa institusi
sudah mencoba melakukan hal yang “benar” dan sesuai peraturan, perilaku buruk
justru muncul dari masyarakat. Contoh kecil adalah saat masyarakat menggunakan
uang pelicin untuk mempercepat administrasi yang dimilikinya, atau dalam hal
perijinan. Perilaku dan pandangan negative inilah yang juga perlu dibenahi
masyarakat kita.
1.2
Upaya Dalam Mewujudkan Implementasi
Good Governance.
Good governance ini secara umum diterjemahkan dengan
pemerintahan yang baik, meskipun istilah aslinya memandang luas dimensi
governance tidak sebatas hanya menjadi pemerintahan saja. Selain itu good
governance dapat juga diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang
didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau
mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan
kehidupan keseharian.
Good governance juga dapat diartikan efisiensi dalam
menejemen sektor publik, menciptakan akuntabilitas publik, tersedianya
infrastruktur hukum, adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat
terhadap informasi yang berisi kebijakan, dan adanya transparasi dari berbagai
kebijakan.
Good governance adalah sebuah bentuk kesadaran akan tanggung
jawab dalam pengelolaan sumber daya alam serta dalam menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia. Good governance juga ada, bila negara bisa menjamin keamanan
warganya. Begitu pula bila para birokrat menggunakan jabatannya untuk melayani
masyarakat luas, bukan untuk memperkaya diri sendiri. Selanjutnya good
governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk
kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau
kelompok tertentu.
1.3
Ciri-ciri dari Clean and Good Governance
Pemerintahan yang baik dan bersih haruslah memiliki ciri-ciri
yang tertera dibawah ini karena perwujudan pemrintahan tersebut harus memilikin
semua aspek tersebut.berikut adalah aspek yang merupkan cirri-ciri dari pemerintahan
yang baik dan bersih ;
a.
AdanyaPartisipasi (Participation)
Semua
warga negara berhak terlibat dalam keputusan, baik langsung maupun center for
public harus diikuti dengan berbagai aturan sehingga proses sebuah usaha dapat
dilakukan dengan baik dan efisien, selain itu pemerintah juga harus menjadi
public server dengan memberikan pelayanan yang baik, efektive, efisien, tepat
waktu serta dengan biaya yang murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari
masyarakat. Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan,
salah satunya diwujudkan dengan pajak.
b.
AdanyaPenegakanHukum(Rule of Law).
Penegakan
hukum adalah pengelolaan pemerintah yang profesional dan harus didukung oleh
penegakan hukum yang berwibawa. Penegakan hukum sangat berguna untuk menjaga
stabilitas nasional. Karna suatu hukum bersifat tegas dan mengikat. Perwujudan
good governance harus di imbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan
hukum yang meng andung unsur-unsur sebagai berikut :
a) Supremasi
Hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang
partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada
hukum dan peraturan yang jelas dan tega dan dijamain pelaksanaannya secara
benar serta independen.
b) Kepastian
hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang
jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan
lainnya.
c) Hukum
yang responsive, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi
msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d) Penegakan
hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum yang berlaku
untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status sosialnya sebagai
contoh aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan hukum wajib
dikenakan sanksi.
e) Independensi
peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau
pengaruh lainnya. Sayangnya di negara kita independensi peradilan belum begitu
baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagai contoh kecilnya
yaitu kasus suap jaksa.
c.
Tranparasi (Transparency)
Akibat
tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa indonesia terjebak dalam kubangan
korupsi yang sangat parah. Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang
gerak kegiatan korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak baik. Dalam
pengelolaan negara, Goffer berpendapat bahwa terdapat delapan unsur yang harus
dilakukan secara transparasi, yaitu :
a)
Penetapan posisi dan jabatan.
b)
Kekayaan pejabat publik.
c)
Pemberian penghargaan.
d)
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan
kehidupan.
e)
Kesehatan.
f)
Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g)
Keamanan dan ketertiban.
h)
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan
masyarakat.
d.
Responsif (Responsiveness).
Asas
responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan
masyarakat secara umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya,
bukan menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus
proaktif dalam mempelajara dan mengalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi
setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang
menuntut pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas
profesional. Dan etika sosial yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas
terhadap berbagai kebutuhan pubik.
e.
Orientasi kesepakatan atau Konsensus
(Consensus Orientation)
Asas
konsensus adalah bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui proses
musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagiah
besar komponen yang bermusyawarah dalam upaya mewujudkan efektifitas
pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang
terwakili selain itu semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol
terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin tinggi tingkat
kehati-hatiannya dan akuntanbilitas pelaksanaannya dapat semaki di
pertanggungjawabkan.
f.
Keadilan dan Kesetaraan (Equity)
Asas
kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik.
Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil dalam memberikan pelayanan
terhadap publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan, keyakinan, suku, dan kelas
sosial.
g.
Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi
(Efficiency)
Yaitu
pemerintah harus berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas biasanya
diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelopok dan lapisan sosial. Sedangkan asas
efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang dipakai untuk mencapai tujuan
dan sasaran maka pemerintah dalam kategori efisien.
h.
Akuntabilitas (Accountability)
Asas
akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik
dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas
akuntabilitas dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Komentar
Posting Komentar