SEJARAH EPISTEMOLOGI
Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat
dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan
menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit
bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi.
Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof
pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani
kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari
pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi
menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji
secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes
mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama
yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides[15]. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu
sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari
sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal
dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan
dan bahkan terkadang menipu.[16]
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan
pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan
atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus
pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu
memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal
yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari
ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap
pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.[17]
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak
definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki
eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan
kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.[18]
Pythagoras berkata, "Manusia merupakan parameter
segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan
segala sesuatu[19]. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih
menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia
ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa
dipindahkan.[20]
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang
lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi
dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang
bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.[21]
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak
akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi
menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti
warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran[22]. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para
filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang
secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar
pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga
berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti,
dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara
yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat
hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan
tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu
yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa
diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian
melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam
akal).[23]
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah
keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini
terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah
bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka[24]. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan
makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu
tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan
penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara
indriawi.[25]
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan
ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang
berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak
pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain,
akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat
gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip
non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui
secara fitrah.[26] Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan
analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu
logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara
benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang
bersifat gamblang (badihi)[27], dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat
hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.[28]
Kelompok Rawaqiyun[29] yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir,
menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan
konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu
adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud)
itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.[30]
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai
pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat
indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan
perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.[31]
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir
dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka
bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang
kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah
bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis.
Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang
dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh
Saktus Amirikus (di abad kedua).[32]
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai
dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda
dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir
dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan
seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan
realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal
Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan
yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu,
juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad
ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition):
1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding),
3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal
yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan
ketiga, bisa memahami hakikat 'kesatuan dalam kejamakan' dan 'kejamakan dalam
kesatuan' tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah
intuisi (asy-syuhud).[33]
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap
jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa
diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu
itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah
bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu,
karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari
diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu
ungkapan beliau adalah "Saya ragu, oleh karena itu, saya ada".[34]
4. Gagasan Tentang Universal
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah
kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu
adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal
yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah
"universal" itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah
"universal" itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah
"universal" itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa
individu-individu eksternal. Apakah wujud "universal" itu sendiri
sama dengan wujud "partikular" yang keberadaannya bukan hanya di alam
pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud
hakiki yang lain?
Sebagai contoh "manusia universal". Apakah
"manusia universal" di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada
di alam pikiran semata, ataukah "manusia universal" itu sendiri
memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya
bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah "manusia
universal" itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih
dari satu objek individual[35]?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain
ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga
perspektif dan aliran pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud
eksternal atau mutsul Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat
dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan
kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang
beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya
menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.[36]
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya
ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah
memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.[37]
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal
itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah
konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan
memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan
konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang
realitas-realitas hakiki dan eksternal.[38]
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada
penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa
universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu,
maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi
universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu
tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan
pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu
eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat.
Dengan alasan ini, pembahasan "universalitas" memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak
pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks
suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan
langsung dengan experiman bisa diterima.[39]
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas
dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni
pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan
terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk
konsep-konsep universal[40]. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan
pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang
dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak
bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia
menafsirkan "universal" itu sebagai "penghubung" antara
pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut
"penghubung" itu sebagai "konsep-konsep".[41]
[3]. Syapur 'Itemod, Tarikh Ma'rifat Syenosi, hal. 2. Syahid Muthahhari, Syenokht-e dar Quran, hal. 29. Taqi
Mishbah Yazdi, Omusyes Falsafeh,
jilid pertama, pelajaran kesebelas. Mahdi Dahbosy, Nazariyeh-e Syenokh, hal 32.
[4]. Perlu diketahui bahwa apabila kita
memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu itu hadir dalam jiwa dan pikiran
kita. Pada satu sisi kita memahami bahwa pada setiap sesuatu memiliki dua
dimensi, dimensi kuiditas dan dimensi wujud. Apabila sesuatu yang hadir dalam
pikiran kita adalah kuiditasnya (mahiyah),
maka ilmu kita terhadap sesuatu itu disebut "ilmu hushûlî" atau "pengenalan
rasional". Pengenalan rasional ini memahami objek-objeknya lewat
symbol-simbol, kata-kata, kalimat, atau rumus-rumus. Namun, kalau sesuatu yang
hadir dalam jiwa kita adalah wujud eksternalnya, maka ilmu kita terhadap
sesuatu itu di sebut "ilmu hudhûrî"
atau "pengenalan intuitif". Misalnya ketika kita melihat api
yang ada di luar diri kita, kalau yang kita tangkap dari api adalah
kuiditasnya, maka api yang ada di dalam pikiran kita tidak akan membakar
pikiran kita, akan tetapi, jika yang hadir dalam diri kita adalah wujud api itu
sendiri, maka niscaya akan membakar diri kita, karena yang memiliki pengaruh
membakar itu hanyalah wujud api, bukan kuiditasnya. Dengan demikian, ilmu hudhûrî menangkap objeknya secara langsung
(immediate) dan berkaitan
dengan hakikat sesuatu. Pengetahuan intuitif ini ditandai oleh hadirnya objek
di dalam diri si subjek, karena itu pengetahuan ini disebut "presensial". Sementara ilmu hushûlî hanya berhubungan dengan
gambaran sesuatu itu. Ali Syirwani, Syarh-e
Mushthalahât-e Falsafi, hal. 110-111.
[5]. Silahkan rujuk pada catatan kaki no.
4.
[6]
. Kebenaran yang belum diyakini adalah suatu bentuk kebenaran
yang diterima secara taklid dari orang-orang yang dipercaya dan belum melalui
proses penelitian secara sistimatis dan logis.
[7]
. Plato adalah orang pertama yang melontarkan bahwa keyakinan
benar yang bisa dibuktikan sebagai makrifat hakiki. Kaum epistemolog Barat
mayoritas menyetujui makna ilmu seperti ini. Aflatun, Daure-ye Otsor, jilid kedua, hal.
1119. Paul Edward, Dâiratul Ma'ârif,
jilid ketiga, hal. 10.
[8]
. Dalam epistemologi kontemporer di Barat dibahas esensi ilmu
(keyakinan benar yang bisa dibuktikan), esensi alim (yang mengetahui), esensi
ma'lum (yang diketahui), sumber ilmu, keluasan ilmu yang mencakup ilmu terhadap
Tuhan, jiwa manusia, materi, hakikat sebagaimana adanya (noman), fenomena (yang
tampak kepada kita), pembagian ilmu berdasarkan keabsahan ma'lum, keabsahan
alat, keabsahan metode, keabsahan kehadiran ilmu, dan juga berdasarkan tolok
ukur ilmu. Apabila subyek epistemologi adalah penyingkapan secara umum, maka
akan tercakup segala apa yang disebutkan itu.
[9]
. Seperti pengkajian kaidah tentang sebab dan akibat, ada dan
tiada, kemestian, kemungkinan dan kemustahilan mewujud, wujud tetap dan
berubah, qidam dan huduts, wujud pikiran dan eksternal, wujud dan kuiditas,
potensi dan aktual, dan wujud materi, mitsal, dan non-materi.
[10]
. Jalan menuju makrifat tidak terbatas pada akal dan indra
lahir, melainkan pencapaina makrifat bisa dengan jalan syuhud irfani, ilham,
dan berpuncak pada wahyu. Akan tetapi, apa yang menjadi titik tekan dan inti
pembahasan dalam epistemologi adalah mengenai akal dan indra (lahir dan batin).
[12]. Yang dimaksud dengan at-tashawwur (penggambaran, konsepsi) adalah suatu gambaran
pikiran dimana bukan penyandaran sesuatu terhadap sesuatu yang lain, seperti
gambaran tentang bulan, matahari, bumi, langit, Tuhan, dan malaikat yang ada
dalam pikiran kita.
[13]
. Yang dimaksud dengan at-tashdiq
(pembenaran, pengesahan) adalah penyandaran sesuatu terhadap sesuatu yang lain
dalam bentuk positif atau negatif, seperti dikatakan: Tuhan ada, ular naga
tiada, jiwa manusia non-materi, ….Dalam setiap pembenaran terdapat tiga
penggambaran: 1. Gambaran subyek, 2. Gambaran predikat, 3. Gambaran tentang
hubungan subyek dan predikat.
[14]. Yang dimaksud dengan 'kategori-kategori
kedua filsafat' (konsep-konsep filosofis) adalah suatu konsep yang tidak
memiliki individu luar dan tidak memiliki wujud mandiri, namun berwujud
mengikuti keberadaan subyeknya. Konsep ini diperoleh dari analisa akal terhadap
perkara-perkara eksternal, kehadiran konsep ini tidak bisa terlepas dari
keberadaan objek eksternalnya. Seperti konsep tentang 'sebab' dan 'akibat',
misalnya: api adalah 'sebab' panas atau panas adalah 'akibat' dari api. Kalau
kita perhatikan di alam eksternal, yang ada itu hanyalah api dan panas. 'Sebab'
dan 'akibat' itu tidak nampak diluar. Munculnya konsep 'sebab' itu berasal dari
analisa akal atas hubungan khusus antara api dan panas, dan konsep 'sebab' itu
lantas dipredikasikan kepada api. Oleh karena itu, walaupun 'sebab' ialah sifat
untuk api, tapi ini tidak berarti bahwa 'sebab' itu memiliki wujud yang mandiri
dan terpisah dari api dan kemudian melekat pada api. Semua konsep dalam
filsafat berada dalam kategori-kategori seperti ini.
[19]
. Ibid, hal. 106.
[20]
. Ibid, hal. 112.
[21]
. Ibid, hal. 126.
[22]
. Ibid, hal. 149.
[25]
. Ibid, hal. 11.
[27]
. Seperti pengetahuan kita terhadap keberadaan dan wujud diri
kita sendiri.
[29]
. Yang didirikan pada tahun 300 M
[31]
. Ibid, hal. 261.
[32]
. Ibid, hal. 472.
[33]
. Plotinus,Tâsu'ât,
risalah ketiga, pasal empat, dan risalah kesembilan, pasal sembilan dan
pertama.
[35]
. Universal lawan dari partikular yang berarti gagasan yang
hanya bisa diterapkan untuk satu objek individual.
[37]
. Ibid, hal. 82.
[39]
. Ibid, hal. 131.
[40]
. Ibid, hal. 172.
[41]
. Ibid, hal. 209.
C.FILOSOF
DAN EPISTEMOLOGI
1.Epistemologi dalam Filsafat Barat Modern
Filsafat modern dimulai pada zaman Rene Descartes
(1596-1650 M) dan Francis Bacon (1561-1626 M). Akan tetapi, peran dominan
Descartes lebih tampak karena berupaya mengembangkan aspek-aspek epistemologi
dalam era baru filsafat Barat.
Ruang pemikiran dimana Descartes hidup sangat berperan
dalam mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Di bawah
ini akan disebutkan beberapa aspek yang mempengaruhi pikiran-pikirannya:
· Lahirnya penemuan-penemuan baru ilmiah yang dimotori
oleh Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo;
· Penciptaan teleskop yang berefek pada penolakan
beberapa asumsi-asumsi yang tidak benar pada masa lalu;
· Penemuan benua Amerika dan perubahan teori terhadap
bentuk bumi;
· Direbutnya ibukota Yunani dan dikenalnya budaya ilmiah
kaum muslimin oleh Eropa;
· Dibentuknya mazhab baru Protestan oleh Martin Luther
(1483 – 1546 M) dan berkurangnya kekuasaan gereja;
· Lahirnya teolog baru seperti Francis Bacon dan
bangkitnya aliran baru melawan pemikir-pemikir lama yang diiringi oleh
penolakan filsafat Aristoteles;
· Munculnya beberapa pandangan yang menolak secara
mutlak pemikiran filsafat yang kemudian berujung pada Skeptisisme yang
dipelopori oleh Francisco Sanches (1551-1623 M).
Walhasil, faktor-faktor yang disebutkan di atas dan
beberapa faktor lain yang tidak disebutkan, saling berpengaruh satu sama lain
yang kemudian mengerucut pada kemunculan dimensi-dimensi keraguan terhadap
agama, etika, dan keyakinan yang ekstrim atas ilmu-ilmu empirik. Semua
kenyataan ini, menjadikan epistemologi sebagai pokok pembahasan tersendiri
dalam era baru filsafat Barat.
1). Rene Descartes (1596-1650 M)
Persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh
Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
· Apakah kita
bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
· Metode apa
yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
· Bagaimana
meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
· Apa tolok
ukur kebenaran pengetahuan?
Descartes menjadikan hal yang tergamblang,
penggabungan, analisa, dan keraguan segala sesuatu dalam mencapai pengetahuan
pertama sebagai metode sempurna dalam menggapai pengetahuan-pengetahuan
selanjutnya.
Dalam tingkatan keraguan, pertama-tama meragukan
segala yang diperoleh oleh panca indra, menganggap bahwa kita dalam kondisi
tidur atau mengkhayal, dan tertipu oleh setan. Intinya, kita mesti meragukan
apa yang diyakini dan harus sampai pada puncak keraguan. Setelah mencapai
puncak keraguan, langkah selanjutnya adalah menemukan pengetahuan pertama, dan
terus mencari ilmu secara bertahap dengan pengetahuan pertama tersebut.
Tahapan kedua, perjalanan dari ragu ke yakin. Pada
tahapan ini, Descartes berkata, "Saya ragu pada setiap sesuatu, namu saya
tidak bisa meragukan keraguan saya itu, saya yakin pada keraguan saya sendiri
dan dikarenakan keberadaan keraguan ini, saya sampai pada suatu keyakinan
terhadap eksistensi peragu.
Menurut Descartes, tolok ukur hakikat itu ialah
kegamblangan dan keterpisahan, yakni setiap perkara seperti keraguan,
sedemikian gamblang dan terpisah satu dengan lainnya sehingga tidak bisa
diragukan lagi, inilah pengetahuan hakiki.
Keyakinan terhadap persepsi fitrah juga merupakan
gagasan penting dalam filsafat Descartes. Konsep-konsep fitrah seperti, Tuhan,
waktu, jiwa, dan benda, yakni perkara-perkara yang secara potensial terdapat
dalam jiwa yang kemudian mengaktual secara evolutif. Iasangat menekankan
aspek-aspek epistemologi dan meyakini kesesuaian gambaran pikiran dan realitas
eksternal.
2). Benedict de Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza sepakat terhadap tolok ukur
"kegamblangan" dan "keterpisahan" yang diajukan oleh
Descartes itu dan memandang bahwa pikiran dan realitas eksternal adalah satu.
Tentang persoalan hakikat, iamengajukan adanya keharmonisan dan keberaturan,
yakni suatu hukum hanya akan benar jika seirama dan harmonis dengan sistem
keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal.
Ia kemudian membagi pengetahuan-pengetahuan itu ke
dalam pengetahuan indriawi dan intuitif (syuhud). Pengetahuan intuitif
dipandang sebagai pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan mesti dimulai dari
Tuhan.
3). Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M)
Leibniz beranggapan bahwa dalam setiap hukum yang
benar, predikatnya terdapat dalam subyek. Ia merupakan orang pertama yang
membedakan antara pengetahuan yang pasti dengan pengetahuan eksternal. Dan
memandang bahwa pengetahuan yang pasti berpijak pada kaidah non-kontradiksi,
yakni penolakan atas kaidah ini akan berujung pada kontadiksi itu sendiri.
Sebagaimana Descartes, iapercaya pada konsep-konsep fitrah.
4). Para Filosof Empiris Inggris
Kaum empiris menolak konsep-konsep fitrah yang
diyakini oleh kaum rasionalis seperti Descartes. Kaum ini lebih menekankan
konsep-konsep yang bersumber dari indra lahir dan empirisitas.
Filosof empirik memiliki kecenderungan yang berbeda,
karena keragaman persepsi-persepsi dan indra-indra. Berkaitan dengan dimensi
persepsi, sebagian mereka menekankan empirisitas pada konsepsi dan keyakinan,
dan sebagian lain hanya pada konsepsi. Sementara yang berhubungan dengan indra,
sebagian hanya meyakini indra lahir, dan yang lainnya berpegang pada kedua
indra, yaitu indra lahir dan indra batin. Hasil-hasil pemikiran dari kelompok
ini niscaya akan berbeda satu sama lain.
5). John Locke (1632-1704 M)
John Locke beranggapan bahwa sebelum memulai kajian
dan pembahasan lainnya, sangat penting membahas tentang kodrat dan kemampuan
akal untuk sampai pada pengetahuan, penetapan batas-batas akal, dan
sumber-sumber makrifat dan keyakinan,. Iamenekankan analisa dan pengujian atas
sejarah, dan empirisitas dalam pandangannya meliputi hal-hal yang lahiriah dan
batiniah.
John Locke tidak mengingkari potensi manusia yang
berkaitan dengan semua pengetahuan, namun menolak keberadaan konsep-konsep
aktual yang terdapat dalam jiwa dan pikiran.
Menurutnya, indra lahir dan batin merupakan sumber
semua pengetahuan dan menolak sumber pengetahuan lainnya, seperti intuisi
rasional. Iaberkeyakinan bahwa seluruh bahan persepsi dan pemikiran diperoleh
dari hal-hal indriawi dan observasi empiris dengan perantaraan panca indra
lahir di alam luar serta di alam batin dengan menggunakan indra batin.
Konsep-konsep ialah perantara antara pikiran dan realitas eksternal, dan
sebagian dari konsep-konsep berhubungan dengan perasaan manusia.
John Locke membagi konsep-konsep itu menjadi tunggal
dan jamak, universal dan partikular, satu indra dan banyak indra, substansi,
hubungan, dan keadaan. Iajuga menerima keberadaan substansi untuk menerima
aksiden-aksiden.
Ia menerima konsep-konsep universal dan abstrak,
konsep ini bebas dari pengaruh waktu, tempat, dan partikular. Walaupun
pemikiran-pemikirannya ini memiliki banyak penafsiran. Baginya, pengenalan itu
terbagi atas intuisi, argumentasi akal, dan indriawi. Pengenalan intuisi lebih
tinggi dari akal dan akal lebih tinggi dari indra lahir. Pengetahuan terhdap
diri sendiri ialah bersifat intuisi, ilmu terhadap Tuhan dicapai lewat
argumentasi akal, dan ilmu tentang alam eksternal dicapai lewat panca indra
lahir.
Dalam pembahasan kausalitas, ia lantas membedakan
antara konsep "sebab" dan konsep "akibat" dengan prinsip
"kausalitas" (setiap akibat bergantung pada sebab). Konsep tentang
sebab dan akibat itu dihasilkan lewat pengamatan internal dan perhatian atas
kinerja iradah, dan "pembenaran (penghukuman)" itu diperoleh dari
pengaruh timbal balik antara maujud-maujud, yakni pikiran meraih konsep
"sebab" dan "akibat" dari pengamatan internal hubungan
antara jiwa dan iradah, maka hubungan konsep-konsep itu satu sama lain akan
tercipta setelah mereka diletakkan secara sejajar dalam pikiran kita, dan
karena gamblangnya masalah itu, akal kemudian menghukumi dan membenarkan
hubungan tersebut.
John locke nampaknya seorang empiris yang moderat,
karena iatidak menolak akal dan ilmu-ilmu hudhûrî. Dengan alasan ini,
banyak aspek positif dalam pemikirannya, walaupun solusi yang ditawarkan dan
penjelasannya masih belum sempurna.
6). George Berkeley (1685-1753 M)
Berkeley beranggapan bahwa penerimaan konsep-konsep
universal itu membuat suatu kerumitan dalam filsafat. Menurutnya, keberadaan
konsep-konsep yang lepas dari segala bentuk sifat dan karakteristik adalah
mustahil. Sebagai contoh, konsep yang abstrak mengenai gerak yang lepas dari
benda bergerak dimana gerak itu tidak cepat, tidak lambat, tidak berotasi, dan
tidak lurus adalah hal yang mustahil, begitu pula mengkonsep segitiga yang tak
bersudut.
Menurut Berkeley, kita harus membedakan antara khayal,
gambaran partikular, dan konsep-konsep universal, yakni adalah sangat jelas
bahwa mustahil mengambil gambaran segitiga selain dari segitiga sama sisi, sama
kaki, atau siku-siku. Konsep dan makna universal segitiga bukanlah gambaran
segitiga tersebut. Dan menurutnya, yang ada itu hanyalah objek-objek eksternal,
konsep-konsep partikular, dan kata-kata umum yang tidak menunjuk pada
sifat-sifat khusus sesuatu.
Apabila kita bisa untuk tidak memandang
karakteristik-karakteristik itu, maka pasti kita bisa mencerap konsep itu. Jadi
tak mustahil kita bisa mencerap suatu konsep yang terlepas dari segala
karakteristik dan partikularitas.
Gagasan lain Berkeley adalah keraguan terhadap
eksistensi maujud-maujud materi, dan beranggapan bahwa apa yang kita miliki
dari benda-benda hanyalah gambaran benda-benda tersebut. Apabila dikatakan,
"benda tertentu berwujud", maka yang dimaksud ialah, "saya
memiliki gambaran atas benda itu atau saya mempersepsi benda itu".
Dalam hal ini, iamengungkapkan dalil-dalil, diantaranya bahwa iatidak
membedakan antara kualitas pertama (baca: benda eksternal) dan kedua (baca:
gambaran benda dalam pikiran), kedua kualitas ini semuanya berpijak pada
perasaan manusia, yakni setiap persepsi tidak lain adalah sama dan sesuai
dengan persepsi lain. Menurutnya, hal ini, ialah gamblang.
Dalam pandangan Berkeley , penyebab kehadiran
konsep-konsep yang nyata itu ialah suatu maujud yang non-materi, yakni iamenerima
adanya prinsip kausalitas dan memandang bahwa konsep-konsep itu tidak lain
adalah suatu akibat (ma'lul) dan penyebabnya ('illat) adalah
suatu maujud non-materi. Dengan dasar inilah, tidak membutuhkan lagi keberadaan
maujud-maujud materi sebagai penyebab kehadiran konsep-konsep tersebut.
Akan tetapi, dengan menafikan konsep-konsep universal,
tak ada alasan lagi menerima prinsip kausalitas. Pada hakikatnya,
Berkeley hanya sebatas meragukan alam materi dan bukan menolaknya. Partikular,
perubahan, dan kehadiran baru konsep-konsep indriawi dan imajinasi, dikarenakan
kaidah kesesuaian sebab dan akibat, maka iajuga menuntut sebab-sebab yang
sesuai dan setara dengannya, yakni kemestian keberadaan sebab-sebab yang juga
senantiasa berubah dan baru tercipta seperti materi itu.
Walhasil, George Berkeley menafikan dan meragukan
adanya konsep-konsep universal dan maujud-maujud materi, namun iamenerima
eksistensi jiwa manusia dan Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah penyebab
kehadiran konsep-konsep indriawi, sementara jiwa manusia dipandang sebagai
penyebab konsep-konsep khayali.
7). David Hume (1711-1776 M)
David Hume beranggapan pentingnya pembahasan mengenai
proses pemahaman manusia. Ia membagi persepsi itu menjadi
"konsepsi" (pemahaman, pengertian at-tashawwur) dan
"impresi" (kesan, al-inthibâ'). Impresi ialah efek, kesan,
atau pengaruh yang sangat dalam terhadap pikiran yang hadir secara visual
(melalui mata). Sementara, konsepsi adalah persepsi yang sangat lemah yang
hadir di alam pikiran ketika berpikir tentang suatu perkara.
Ia juga sebagaimana John Locke yang memandang sumber
segala pengetahuan manusia itu adalah empiris dan impresif. Dan ia menegaskan
bahwa apabila setiap konsep itu berpijak dan bersesuaian dengan impresi, maka
konsep itu dikatakan bermakna, dan jika tidak demikian, maka ia tidaklah
menjadi bermakna.
Ia memandang bahwa pijakan pemikiran itu ialah
hubungan antara maujud-maujud dan perkara-perkara hakiki, sementara matematika
itu adalah hubungan antara konsepsi-konsepsi, maka dari itu, digolongkan
sebagai hal-hal yang pasti dan niscaya. Dan menolak hal ini akan berujung pada
kontradiksi. Namun, berbeda dengan hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara
hakiki yang tidak memiliki dua kemestian dan kepastian tersebut.
Menurutnya, argumentasi tentang perkara-perkara
eksternal dan hakiki dengan metode hubungan kausalitas, oleh karena itu, ia
berupaya mengkaji dan menganalisa hubungan kausalitas itu. Akan tetapi,
kausalitas itu ia pandang sebagai suatu "kebiasaan" dan "tradisi"
pikiran, puncak analisanya ini adalah menafikan hubungan kausalitas itu dan tak
ada jalan mengenal alam eksternal. Dengan demikian, segala sesuatu yang di luar
pikiran dan jiwa manusia adalah hal yang mesti diragukan keberadaannya.
Sesungguhnya, kemestian berpegang secara ekstrim kepada panca indra lahir
(Sensisme) pada wilayah konsepsi dan pembenaran (at-tashdiq) adalah akan
berpuncak pada keraguan dan skeptisisme.
Persoalan prinsipil Hume mengenai konsep-konsep sebab
dan akibat ialah bahwa panca indra lahir tak bisa mencerapnya.
Apabila Hume memperhatikan poin penting dalam
pandangan John Locke, maka mustahil ia menekankan analisanya yang keliru
tentang kausalitas itu, karena sebagaimana yang dungkapkan oleh Locke dengan
mudah akan dipahami hakikat 'sebab' dan 'akibat' itu dalam diri kita sendiri,
yakni konsep 'sebab' dan 'akibat' tersebut terabstraksi dari kondisi internal
manusia (konsep ini berasal dari hubungan kausalitas antara jiwa dan iradah
dimana jiwa sebagai 'sebab' iradah dan iradah 'akibat' dari jiwa).
David Hume sebagaimana Berkeley , menolak
konsep-konsep universal itu dengan mengungkapkan beberapa argumen. Salah satu
argumennya adalah dimensi partikularitas setiap sesuatu dan keberadaan impresi
di alam pikiran. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hume tidak menganalisa
persoalan kausalitas itu dengan cermat dan teliti, dan bahkan ia cenderung
mencampurnya dengan persoalan-persoalan khayali (tak nyata). Iatak memahami dua
dimensi yang terdapat dalam konsep-konsep universal yaitu dimensi (yakni
keberadaan aktual dan partikularitas sesuatu) dan dimensi lain (yakni
penghikayatan dan percerminan) dimana berdasarkan dimensi kedua ini, konsep
universal itu bisa mencakup dan meliputi banyak individu luar (seperti konsep
universal manusia yang meliputi individu-individu luar yang tak terbatas).
Hume juga menolak atau meragukan keberadaan
substansi-substansi bendawi, hal ini karena kita tidak merasakan dan memahami
sesuatu yang lain (yang berada di luar dari diri kita) kecuali konsepsi dan
persepsi itu sendiri (karena berada dalam pikiran kita), disamping itu, tidak
ada argumentasi rasional akan eksistensi substansi-substansi, serta ketiadaan
perbedaan antara kualitas pertama (baca: benda luar) dan kualitas kedua (baca:
gambaran benda luar dalam pikiran).
Konklusi pemikiran Hume seperti di atas tidak lain
karena ia menolak prinsip kausalitas, dengan demikian, tak ada jalan baginya
untuk membuktikan alam eksternal dan maujud hakiki lainnya.
Tentang substansi jiwa, ia beranggapan bahwa manusia
itu tidak memandang selain persepsinya sendiri. Selain persepsi dan emosi
manusia, tidak ada suatu maujud lain yang tunggal dan kekal yang dinamai
"aku" yang bisa dicerap dan diketahuinya.
Namun, dengan memperhatikan penyandaran segala
persepsi terhadap "aku" dan perbandingan serta hubungan antara
proposisi-proposisi dan hukum tentangnya, begitu pula keadaan dan kondisi jiwa
yang bersifat aksidental itu, bisa dikatakan bahwa penerimaan eksistensi
"jiwa" sebagai penyatu semua perkara ini dan subyek bagi seluruh
kondisi jiwa merupakan hal yang niscaya dan jelas.
2.Epistemologi dalam Filsafat Islam
Nampaknya, epistemologi bukan hal yang dikhawatirkan
oleh para filosof muslim. Epistemologi bukan sebagai kajian utama dan inti
dalam filsafat Islam. Persoalan-persoalan mendasar yang hadir dalam
epistemologi secara implisit telah diulas dan dikaji di sela-sela pembahasan
filsafat Islam. Karena itu, disepanjang evolusi pemikiran filsafat Islam tidak
akan dijumpai satu karya yang secara terpisah membahas persoalan epistemologi.
Akan tetapi, karena persoalan epistemologi sedemikian membengkaknya, para
filosof Islam kontemporer menganggap urgen untuk mengkajinya secara mandiri dan
terperinci serta memisahkan dari pembahasan filsafat.
1). Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishak Al-Kindi (Wafat 252
H)
Al-Kindi ialah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia
melihat bahwa penalaran akal dan pengamatan indriawi merupakan sumber
pengetahun. Akal bertujuan untuk mempersepsi hal-hal universal dan realitas
non-fisik, sementara panca indra yang berhubungan dengan perkara-perkara
partikular dan benda-benda fisik. Ia beranggapan bahwa akal dan panca indra itu
sebagai persepsi-persepsi yang nyata dan tidak bisa diragukan lagi.
Sesungguhnya, menurut Al-Kindi, akal memiliki kemampuan untuk mengungkap,
menyingkap, dan menggapai hakikat eksternal.
2). Abu Nashr Al-Farabi (257-329 H)
Al-Farabi berkesimpulan bahwa sumber pengetahuan
adalah penalaran akal dan pengamatan indriawi. Namun, panca indra merupakan
tahapan awal bagi lahirnya penalaran-penalaran rasional. Ia membagi ilmu itu
menjadi yang gamblang dan teoritis. Dan orang tidak mengetahui bagaimana proses
hadirnya ilmu-ilmu gamblang, maka tidak akan berakibat terhadap keyakinannya
pada ilmu gamblang itu. Ia juga menerima konsep-konsep universal dan mendefinisikannya
sebagai suatu konsep yang bisa meliputi dan mencakup individu-individu
eksternal yang banyak.
3). Abu Ali Al-Husain ibn Sina (370-428 H)
Ia termasuk salah seorang filosof yang banyak
menguraikan persoalan yang terkait dengan persepsi dan pengenalan. Salah satu
kajian pentingnya adalah pendefinisian ilmu dan pembagian ilmu ke dalam ilmu hushûlî
dan hudhûrî. Menurut Ibnu Sina, definisi ilmu ialah penggambaran sesuatu
oleh pengindra. Penggambaran ini meliputi pemahaman hakikat sesuatu dan penggambaran
bentuk sesuatu.
Dalam pandangannya, persepsi itu adalah akal dan
indra. Dan membagi indra itu menjadi indra lahir dan indra batin, serta
menempatkan indra itu sebagai sumber awal pengetahuan. Persepsi atas
konsep-konsep universal itu merupakan karakteristik-karakteristik manusia.
Pengetahuan manusia itu berpijak pada hal-hal yang gamblang dan menganggap
bahwa hal-hal yang gamblang (badihi, tak butuh pada argumentasi) itu
bersifat yakini dan bersesuaian dengan kenyataan luar. pengetahuan tentang eksistensi
jiwa itu adalah bersifat hudhûrî (lawan dari hushûlî) dan
menunggal dengan jiwa itu sendiri. Pengetahuan tentang wujud jiwa ini lebih
awal dari setiap persepsi, bahkan lebih awal dari ilmu atas keraguan dan semua
kondisi jiwa.
4). Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H)
Setelah ia melewati masa skeptisitasnya, ia mengkaji
secara mendalam persoalan-persoalan epistemologi. Menurutnya, makrifat hakiki
adalah suatu pengetahuan yang menyingkap hakikat objek pengetahuan (ma'lum)
sedemikian sehingga tidak menyisakan satu bentuk keraguan dan tidak
menghadirkan kemungkinan kekeliruan atasnya, keyakinan terhadap hakikat objek
luar itu sangatlah kuat sehingga apabila seseorang berkata padanya bahwa batu
itu adalah emas atau tongkat itu adalah ular naga, maka keyakinannya tidak akan
pernah bergeser sedikitpun dan ia tak terpengaruh olehnya.
Al-Ghazali pernah menelusuri lorong-lorong keraguan
dan sampai pada puncak keraguan. Namun, pada akhirnya ia terhidayah dan
menggapai keyakinan berkat pertolongan cahaya Ilahi. Ia terperosok ke lembah
skeptisitas lewat alur logika dan keluar darinya dengan jalan pengalaman mistik
dan intuisi irfani.
Dengan menghitung kesalahan dan kekeliruan panca
indra, ia lantas meragukan hal-hal yang indriawi dan beranggapan bahwa
sebagaimana akal bisa mengungkap semua kesalahan panca indra, sangat mungkin
akan hadir seorang pemikir lain yang mampu menyingkap kekeliruan akal dan
membatalkan pengetahuan yang dipandang gamblang oleh akal (seperti angka
sepuluh lebih besar dari tiga). Dan ia berkata bahwa dari mana kita yakin bahwa
kita dalam kondisi tidak tidur dan berkhayal. Oleh karena itu, kita bisa
meragukan segala sesuatu.
Menurutnya, pengalaman mistik dan intuisi irfani (al-kasy
wa asy-syuhud al-'irfani). Akan tetapi, ia juga meyakini bahwa jalan logika
dan penalaran akal, dengan berpegang teguh pada syarat-syaratnya, sebagai
metode memahami hakikat eksternal. Ia menekankan bahwa hasil-hasil yang dicapai
oleh pengetahuan itu sangat berpijak kepada penguatan
argumentasi-argumentasinya.
Tentang konsep-konsep universal, ia memiliki dua
pernyataan dimana yang satu sama dengan definisi yang dianut oleh kaum Peripatetik
tentang universal (yakni universal itu bisa mencakup individu yang banyak) dan
gagasan keduanya ialah bahwa universal itu sama dengan dengan khayal dan
imajinasi partikular.
5). Fakhr al-Din ar-Razi (543-606 H)
Ia sama dengan para filosof sebelumnya yang menganggap
indra lahir dan akal sebagai alat untuk memahami realitas luar, dan setelah
menerima kenyataan adanya kekeliruan pada indra lahir, ia kemudian meletakkan
akal itu sebagai tolok ukur dalam penentuan kesalahan yang dilakukan oleh indra
lahir.
Menurutnya, ilmu itu ialah hubungan antara 'âlim
(yang mengetahui) dengan ma'lum bidz-dzat (pengetahuan esensial).
Ia juga menjelaskan tentang keraguan-keraguan yang berhubungan dengan
pengetahuan-pengetahuan badihi dan gamblang, namun, menurutnya,
keberadaan semua keraguan tersebut tidak mampu menafikan kebenaran pengetahuan
yang gamblang tersebut.
6). Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi (549-587 H)
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa metode demonstratif
dengan akal (burhân, demonstrative proof) dan metode intuitif ('irfâni,
gnosis) merupakan dua metode yang pasti dalam mencerap objek eksternal,
kebenaran, dan pengetahuan hakiki. Akal dan indra itu dipandang olehnya sebagai
alat persepsi dan ia membagi ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Ilmu terhadap diri sendiri ia kategorikan sebagai pengetahuan hudhûrî.
Mengenai kaum skeptis, ia menyatakan: "Apakah
pemikiran mereka itu sendiri mereka pandang sebagai kebenaran ataukah
kekeliruan? Atau mereka juga meragukan kebenaran pemikirannya. Apabila mereka
katakan bahwa pemikiran mereka itu adalah benar, maka mereka mengakui adanya
kebenaran sejati dan pengetahuan hakiki. Akan tetapi, apabila mereka anggap
pemikiran mereka itu adalah batil, maka ini berarti bahwa mereka menafikan
pemikiran mereka sendiri. Dan untuk soal yang ketiga bahwa apakah mereka juga
ragu pada keraguan mereka atau yakin padanya? Jika mereka memiliki keyakinan
atasnya, maka mereka percaya terhadap wujud ilmu dan keyakinan dan kalau mereka
ragu atasnya, maka seluruh perkataan mereka sama sekali tidak berguna dan
sebaiknya kita menampakkan kebohongan perkataan mereka tersebut dihadapan
mereka sendiri." Mengenai hal-hal yang gamblang dan badihi itu, ia
menganggapnya sebagai hal-hal yang diyakini dan sesuai dengan realitas
eksternal serta awal dari pengetahuan hakiki manusia.
Menurutnya, ilmu kita terhadap objek-objek fisik
diperoleh secara langsung dengan melihatnya, namun untuk maujud-maujud
non-materi dicapai dengan intuisi (hudhûrî). Dalam keadaan maujud-maujud
itu tidak lagi berada dalam liputan langsung indra kita, maka yang hadir di
alam pikiran adalah gambaran maujud-maujud tersebut (hushûlî) yang
sesuai dengan objek-objek eksternalnya. Ia menyusun dalil bagi kesesuaian
gambaran itu dengan objek-objek eksternal. Argumentasinya ialah: Jika kita
memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka sesuatu telah hadir di alam pikiran kita
atau sama sekali sesuatu tidak hadir. Kondisi kedua ini adalah batal, karena
seharusnya keadaan sebelum berilmu adalah sama dengan keadaan pasca berilmu,
sementara kita merasakan adanya satu peruabahan dalam diri kita. Dan apabila
sesuatu telah hadir di alam pikiran kita (kita berilmu), namun, tidak sesuai
dengan objek-objek eksternal, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ilmu
terhadap sesuatu itu. Dengan demikian, makrifat dan pengetahuan kita terhadap
segala sesuatu mesti sesuai dengan objek-objek eksternalnya.
7). Khwajah Nashir al-Din al-Thusi (597-672 H)
Sebagaimana Ibnu Sina, ia menerima hal-hal gamblang
itu sebagai pengetahuan pertama dan menggolongkan indra dan akal sebagai alat
dan sumber pengetahuan manusia. Ada tingkatan dalam hal-hal yang gamblang (al-badihiyyât)
itu, dan menurutnya, tingkatan aksioma (al-awwaliyyât) dan benda-benda
fisik (al-mahsûsât) merupakan awal dan dasar pengetahuan manusia.
8). Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi (979-1050 H)
Ia dikenal dengan nama Mulla Sadra. Menurutnya,
mustahil mendefinisikan ilmu itu, karena tidak ada yang lebih jelas daripada
ilmu yang dengannya ia terdefinisikan. Ia membagi ilmu menjadi hushûlî
dan hudhûrî serta mengategorikan pengetahuan terhadap diri sendiri ke
dalam ilmu hudhûrî. Dalam pandangannya, keyakinan itu memiliki
tingkatan, tingkatan pertama ialah 'ilm al-yaqîn (argumen rasional), 'ain
al-yaqîn (intuisi 'irfani), dan haqq al-yaqîn (kesatuan wujud).
Mengenai konsep-konsep universal itu ia terkadang menafsirkannya sesuai dengan
gagasan kaum Peripatetik, namun, ia lebih cenderung untuk mengartikannya
sebagai "penyaksian (al-musyâhadah) intuitif maujud-maujud
non-materi".
Hal-hal yang gamblang itu ialah suatu keyakinan yang
sesuai dengan objek-objek eksternal. Dan pada hakikatnya, akal bisa mengetahui
hakikat-hakikat eksternal dan jiwa manusia berpotensi menerima manisfestasi dan
tajalli seluruh hakikat luar.
Mulla Sadra membagi konsep-konsep universal itu
menjadi kuiditas (mahiyah), filosofis, logikal. Konsep-konsep filosofis
dan logikal itu disebut sebagai "kategori kedua yang dicerap oleh
akal" (secondary intelligibles). Perbedaan keduanya adalah bahwa
konsep-konsep kedua filosofis (philosophical secondary intelligibles)
terabstraksi dari objek-objek eksternal dan sementara konsep-konsep kedua
logikal (logical secondary intelligibles) terabstraksi dari objek-objek
dalam pikiran. Apakah konsep-konsep kedua filosofis ini bersifat hakiki atau
majasi? Ia menyatakan bahwa konsep-konsep ini merupakan ungkapan dari
tingkatan-tingkatan wujud eksternal, dimana setiap maujud yang lemah, pancaran
dan pengungkapannya pun akan lemah dan berada pada batas
"kemungkinan" untuk dicerap oleh akal. Dan begitu pula sebaliknya,
suatu maujud yang kuat dan sempurna maka pengungkapan dan pancaran wujudnya pun
akan semakin kuat dan berada pada batas "kemestian" untuk bisa
diindra oleh akal. Perlu diketahui bahwa batas "kemungkinan" dan
"kemestian" untuk dicerap ini merupakan ungkapan derajat-derajat
eksistensi.
Pembahasan lain yang dijabarkan Mulla Sadra ialah
mengenai wujud pikiran. Materi ini ia jelaskan secara terperinci. Dalam kajian
tentang wujud pikiran ini, ditegaskan tentang kesatuan kuiditas objek pikiran
dan objek eksternal dimana hal ini sangat ampuh menyelesaikan persoalan rumit
mengenai kesesuaian ilmu manusia dengan objek-objek eksternal. Mulla Sadra
dalam hal ini, berupaya menganalisa secara teliti dan cermat persoalan tersebut
dan memberikan solusi secara akurat, komprehensif, dan sempurna sedemikian sehingga
tak menyisakan lagi hal yang perlu dibahas. Ia mengajukan metode baru dalam
menyelesaikan persoalan tersebut dan sekaligus menyempurnakan argumentasi dan
burhan yang dikonstruksi oleh Syaikh Isyraq. Ia berkata, "Ketika kita
meraih suatu ilmu, maka sesuatu telah hadir dalam jiwa kita dimana hal itu
tidak ada sebelumnya. Dan terdapat pengaruh yang berbeda antara kehadiran
sesuatu tertentu dan kehadiran sesuatu yang lain dalam jiwa. Oleh sebab itu,
pengaruh kehadiran sesuatu tertentu tidak lain karena kesesuaiannya dengan
objek eksternalnya.
9). Al-Hajj Mulla Hadi al-Sabzawari (1212-1277
H)
Gagasannya mengenai pembagian ilmu, tentang aksioma
yang merupakan pijakan utama bagi ilmu-ilmu lain serta kajian mengenai wujud
pikiran tidak berbeda dengan perspektif Mulla Sadra. Namun, dalam pembahasan
tentang philosophical and logical secondary
intelligibles, ia menjelaskannya secara khusus:
· Konsep-konsep kuiditas adalah suatu sifat khusus bagi
objek-objek eksternal dan juga diatributkan kepada subyeknya di alam eksternal.
Masing-masing konsep itu mempunyai objek abstrasi tersendiri.
· Konsep-konsep filosofis adalah suatu sifat khusus bagi
objek-objek di alam eksternal, akan tetapi, dipredikasikan pada subyeknya di
alam pikiran. Di alam luar tidak akan ditemukan dua realitas yang berbeda, jadi
perbedaan itu hanya ada di alam pikiran. Kedua konsep yang berbeda terabstraksi
pada satu objek eksternal.
· Konsep-konsep logikal adalah kebalikan dari
konsep-konsep kuiditas yakni suatu sifat khusus bagi perkara-perkara di alam
pikiran (subjektivitas) dan dipredikasikan kepada subyeknya juga di alam
pikiran. Konsep ini tidak berhubungan dengan maujud-maujud alam eksternal
(objektivitas) dan tidak menyatu dengannya serta tidak terabstraksi dari
objek-objek luar. Konsep-konsep ini adalah sifat-sifat dan
karakteristik-karakteristik bagi perkara-perkara pikiran semata.
Ia juga beranggapan
bahwa pengetahuan hakiki itu adalah suatu kebenaran yang sesuai dengan
objek-objek eksternalnya dan kebenaran setiap proposisi itu berbanding lurus
dengan proposisi itu sendiri, yakni hakikat setiap sesuatu berdasarkan asumsi
yang terdapat dalam proposisi itu, terkadang asumsinya ialah ketiadaan,
terkadang keberadaan, terkadang memiliki objek abstraksi di luar, atau memiliki
bentuk-bentuk eksistensi yang lain. Gagasannya ini merupakan poin penting dalam
pembahasan epistemology.
10). Muhammad Husain Thabathabai (1281-1360 H)
Ia adalah filosof Islam pertama yang meletakkan
epistemologi sebagai disiplin ilmu baru. Segala keraguan dan kritikan yang di
alamatkan kepada epistemologi, ia kaji secara cermat dan berupaya mencarikan
jawabannya yang akurat serta membahas poin-poin penting epistemologi. Ia
sepakat dengan filosof-filosof sebelumnya yang menempatkan penalaran akal dan
pengamatan indriawi sebagai alat dan sumber pengetahuan, begitu pula, ia
menerima pembagian ilmu menjadi hushûlî dan hudhûrî.
Yang sangat menarik dalam kajian-kajian
epistemologinya adalah bahwa ia bersandar pada ilmu hushûlî dan
mengembalikan semua ilmu hushûlî itu kepada ilmu hudhûrî. Ia
menganggap bahwa hakikat ilmu adalah penyingkapan (kâsyifiyyah). Esensi
ilmu adalah penyingkapan, penyibakan, dan penampakan objek eksternal.
Dikarenakan ilmu hudhûrî itu tidak memiliki penghubung antara subjek yang
mengetahui dan objek yang diketahui, maka diyakini tidak memiliki kesalahan dan
kekeliruan. Dengan kata lain, ilmu hudhûrî secara langsung menangkap
objek-objek eksternal.
Menurutnya, indra lahir dan batin itu merupakan alat
dan sumber pengetahuan manusia dan segala ilmu hushûlî itu dicapai lewat indra
batiniah atau konsep-konsep pikiran, yakni konsep-konsep itu ia anggap
bersumber dari indra batinyang mencerap apa-apa yang dihasilkan oleh indra
lahir seperti mendengar, melihat, dan mencium. Ia memandang bahwa perbuatan
melihat itu misalnya merupakan pengkondisian untuk hadirnya reaksi fakultas
penglihatan (al-quwwah al-bâshirah) dan kita mendapatkan
gambaran-gambaran objek eksternal itu dari reaksi fakultas jiwa, bukan dari
penglihatan langsung mata terhadap objek luar itu.
Penglihatan mata itu akan menghasilkan reaksi khusus
fakultas jiwa dan segala gambaran dan konsep pikiran yang dicerap dari fakultas
tersebut pada dasarnya adalah pengetahuan esensial (ma'lum bidz- dzat,
essential known). Dari hal ini, menurutnya, objek-objek eksternal pada
hakikatnya adalah pengetahuan aksidental (ma'lum bil 'aradh, accidental
known) bagi manusia.
Poin penting lain dari gagasan-gagasannya yang tidak
dipaparkan oleh para filosof sebelumnya adalah masalah sumber abstraksi
konsep-konsep filosofis seperti konsep sebab, akibat, substansi, aksiden,
wujud, tiada, dan lain-lain. Ia menganggap bahwa konsep-konsep tersebut
bersumber dari ilmu hudhûrî. Pada prinsipnya, perspektif seperti ini
sekaligus merupakan jawaban atas keraguan David Hume dan Immanuel Kant yang
menolak konsep-konsep seperti sebab, akibat, dan sejenisnya dan menganggap
segala konsep seperti itu adalah buatan pikiran semata, hal ini karena,
menurutnya, konsep-konsep seperi itu tidak bisa dicerap langsung oleh indra
lahir. Namun, menurut Thabathabai, tidaklah demikian bahwa apabila suatu konsep
yang tidak bisa dicerap oleh indra lahir lantas dikategorikan sebagai
konsep-konsep non-hakiki, tidak riil, buatan pikiran, dan khayalan semata.
Ia pun sama dengan beberapa para filosof Islam
sebelumnya yang memandang hal-hal gamblang dan aksioma itu sebagai awal ilmu
yang melandasi pengetahuan-pengetahuan selanjutnya. Dalam hal yang berhubungan
dengan keraguan, kritikan, dan pemikiran kaum Skeptis, jawaban ia atasnya
senada dengan Syaikh Isyraq.
11). Syahid Murtadha Muthahhari ( 1298-1358 H)
Ia adalah murid utama Allamah Thabathabai dan menulis
tafsir atas karya gurunya sendiri, Ushul-e Falsafeh wa Realism. Ia
dianugerahi kesyahidan oleh Sang Maha Pencipta, Tuhan, di awal-awal kemenangan
revolusi Islam Iran yang dimotori oleh Ayatullah Ruhullah Khomeni, pemimpin
spiritual mazhab Syiah saat itu.
Mengenai ilmu, ia beranggapan bahwa ilmu itu merupakan
hasil dari pendefinisian sesuatu dan membagi ilmu itu menjadi indriawi,
imajinasi, dan rasional. Indra juga berperan sebagai sumber ilmu, namun tak
mencukupi dan dibutuhkan suatu fakultas lain yang berfungsi sebagai analisator,
pengurai, dan penyusun memori yang disebut dengan fakultas akal dan rasional.
Menurutnya, aksioma-aksioma itu merupakan basis awal
segala pengetahuan dan juga yakin bahwa pembenaran (tashdiq) mesti
berpijak pada rasionalitas. Apabila dalam "pembenaran" itu bersandar
kepada indra lahir, maka niscaya akan berujung kepada Skeptisisme, karena dalam
kondisi itu, aksioma-aksioma tidaklah bermakna dan semua pengetahuan teoritis
tidak akan memiliki pijakan. Dalam pandangannnya, konsep-konsep seperti sebab
dan akibat itu berasal dari hubungan antara jiwa dan iradah. Idenya ini
sebenarnya merupakan jawaban keraguan dan kritikan David Hume dan Immanuel Kant
serta ia juga tidak menerima bahwa konsep-konsep itu dikatakan buatan pikiran
manusia semata.
Muthahhari berkeyakinan bahwa validitas argumentasi
akal merupakan hal yang gamblang dan tidak butuh pada pembuktian rasional lagi.
Ia sependapat dengan gurunya dalam subyek wujud pikiran dimana menekankan
"kesesuaian pengetahuan rasional" dengan objek-objek eksternalnya,
karena kalau tak demikian halnya akan terperangkap dalam lembah Skeptisisme,
tertutup ruang pengkajian filsafat, dan mustahil meraih satu pun pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar