Pluralisme Sebagai Keniscayaan

Setiap Agama lahir dalam sebuah lingkup sejarah dan kemudian menciptakan tradisi. Kebesaran sebuah agama, oleh karenanya, akan diukur antara lain melalui kebesaran tradisi yang ditinggalkan. Sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pendukungnya, disamping itu, tentu saja oleh muatan ajaran atau doktrinnya. Namun sesungguhnya semua doktrin agama selalu berkembang dalam perjalanan historisnya sehingga apa yang disebut teologi, misalnya, adalah juga bersifat antropologis.
Karena bersifat antropologis maka pluralisme agama  menjadi sebuah keniscayaan, sebagaimana juga keniscayaan adanya pluralitas bahasa dan etnis. Hanya saja pada agama seseorang menggantungkan keselamatan hidup yang paling akhir sehingga kaidah dan doktrin agama lalu menjadi sakral dan sangat wibawa sehingga mempengaruhi seluruh aspek hidupnya. Bahkan membela keutuhan doktrin itu sendiri lalu diyakini sebagai jalan yang mengantarkan  pada keselamatan eskatologis, meskipun sebagian dari doktrin itu merupakan produk historis yang bersifat relatif dan antropologis.
Mengingat fenomena dan prilaku keberagaman bisa didekati dari sudut pandang teologi, psikologi dan antropologi, yang kesemuanya adalah produk pemikiran diskursif, maka dialog mengenai pengalaman iman dan upaya membangun teologi yang inklusivistik dan dialogis bukanlah hal yang tabu dan tidak mungkin untuk dilakukan.

Manusia Makhluk dialogis

Sejak semula manusia didesain dan diciptakan sebagai makhluk yang dialogis. Di samping manusia disebutkan makhluk berakal, ia juga merupakan makhluk ruhani. Di dalamnya terdapat ruh Ilahi yang hidup kekal tak kenal kematian. Oleh karenanya tak pernah manusia itu sendiri tanpa kehidupan yang menyertainya. Hidup berarti juga berfikir, merasa, berkreasi, dan juga berdialog. Ada kalanya manusia berdialog dengan dirinya sendiri, dengan sesama temannya, dengan alam lingkungannya, dengan masa lalunya, dengan bayangan di masa depannya, dengan sukacitanya, dan pendeknya, dengan kehidupan dan pengalaman yang menyertainya baik yang tampak hitam, kelabu, remang-remang, maupun yang terang benderang.
Manusia adalah makhluk yang paradoksal. Kadang kala ia ingin menyendiri menjaga eksklusivitasnya, tetapi pada saat yang bersamaan ingin berada bersama yang lain. Terlalu akbar, sunyi dan mengerikan kalau saja bumi ini dihuni sendirian. Hanya dengan berada dan melibatkan diri dengan yang lain manusia akan menghayati kemanusiaan dan keakuannya. Tetapi ketika berada bersama orang lain itu tidak jarang seseorang merasa terganggu kesendiriannya. Bagaimanapun, seseorang senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain. Melalui dialog dengan dan berada  bersama orang lain maka seseorang akan tumbuh menjadi dirinya sendiri.
Pada mulanya menjadi diri sendiri ditempuh dengan cara meniru perilaku orang.   Memulai menapaki garis kehidupan adalah juga berarti meniru dan mengikuti pola pikir, kepercayaan dan perilaku generasi yang lebih dulu lahir, yang melingkupi diri kita. Kalau ditanya mengapa aku menjadi seorang Muslim, secara sosiologis sudah pasti merupakan produk lingkunganku. Tetapi peniruan yang diikuti sikap kritis pada akhirnya akan mengantarkan seseorang untuk menemukan dan membentuk dirinya sendiri secara otentik.
          Setiap individu adalah unik, suatu keunikan yang tumbuh bersama keunikan orang lian, yang pada gilirannya melahirkan keunikan kita. Kita hidup bersama dalam perbedaan, dan berbeda dalam kebersamaan. Orang yang tidak bisa menerima dan menghargai keunikan orang dan tidak mampu lebur dalam proses dialog dengan orang lain adalah orang yang gagal memahami diri dan sesamanya. Kehidupan adalah sebuah dialog secara terus menerus. Dalam dialog secara dewasa dan produktif tentu saja diperlukan kesabaran, pengalaman, kepercayaan diri serta kematangan pribadi. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika masing-masing partisipan tidak ada kesediaan untuk membuka diri, kesediaan saling memberi dan menerima secara sukarelaa dan antusias.
Dialog antar kita terwujud hanya ketika kita bisa duduk sejajar dalam daratan kekitaan. Dunia ini milik kita, hidup ini kita jalani bersama, dan semua persoalan manusia adalah juga persoalan kita semua. Termasuk persoalan kebertuhanan dan masalah agama serta keberagaman adalah juga persoalan kita sebagai sesama manusia. Dan kekitaan akan lestari serta menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau tali pengikatnya adalah rasa saling cinta, simpati, dan didasari rasa saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing kita bersikap bisa dipercaya.

Iman Yang Dialogis

Pada dasarnya iman adalah produk hubungan dialogis antara seseorang dengan tuhannya. Allah senantiasa mencurahkan sapaan kasih-Nya pada manusia dan manusia beriman akan selalu merasakan dan menjawab sapaan Tuhan. Hubungan kasih dan kerinduan itu merupakan keniscayaan karena Allah adalah Maha Kasih sementara pada diri manusia memang terdapat ruh, misteri ilahi, yang selalu damba untuk berhubungan dan bahkan kembali melebur ke dalam lautan kasih-Nya.
Kerinduan manusia pada  Tuhannya bagaikan kerinduan air hujan untuk bergabung dan menyatu dengan lautan nan luas tak bertepi. Tetapi, sadar akan misi kemanusiaannya, yang oleh Al-qur'an disebut sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, maka romantisisme iman itu ditransformasikan menjadi sebuah etos untuk mengembangkan penalaran dan bekerja keras melaksanakan cetak biru Tuhan berupa amal saleh. Iman dan rindu pada Tuhan, bagaikan perjalanan air hujan menuju lautan. Sebelum sampai ke tujuan akhir, ia bekerja menyuburkan tanah yang gersang, menyirami tetumbuhan yang kering, serta menyejukkan bumi yang kepanasan. Tanpa air maka tak akan ada kehidupan dan kesuburan di muka bumi ini. Iman yang benar, yang disertai pengetahuan dan cinta yang tulus adalah air kehidupan itu sendiri. Iman yang dialogis itu bukanlah sekedar romantisisme mistis yang dibingkai secara ketat oleh bentuk ritual yang cenderung mengabaikan dunia dan persoalan kemanusiaan. Sebalaiknya, iman yang dialogis selalu menimbulkan kesegaran, visi, energi serta komitmen untuk berpartisipasi melakukan usaha-usaha kemanusiaan dalam rangka membalas serta mewujudkan cinta Tuhan bagi keselamatan manusia di dunia dan akhirat.
Konsep keselamatan dalam islam, oleh karenanya, bukanlah pada pernyataan iman itu saja bahwa Allah itu Maha Esa adanya, melainkan lebih dititikberatkan pada pengetahuan yang benar dan amal atau kerja yang benar sebagai manifestasi dari kecintaan dan ketaatan  pada Allah. Dengan kata lain, di samping islam mengakui adanya anugerah Allah sebagai pintu keselamatan, islam lebih menekankan jalan keselamatan melalui prestasi kerja dalam rangka memberikan pelayanan dan bimbingan kemanusiaan untuk mengembangkan dan memelihara hakikat kemanusiaannya sebagai pengemban amanat Allah di muka bumi.
Dialog imani dengan Tuhan, oleh karenya, adalah juga sebuah dialog praksis secara kontinyu dengan sesama manusia. Melayani dan mencintai Tuhan pada wujud praksisnya adalah juga melayani dan mencintai sesama manusia. Iman yang tidak mendekatkan cinta kasih dan berbuat produktif untuk kepentingan manusia adalah iman yang tertutup, tidak dialogis dan tidaak produktif.




Iman dan Inklusivisme Beragama

 Iman selalu menuntut kepastian dan kemutlakan. Karena itu persoalan pokok iman terarah pada the ultimate reality. Konsep Tuhan, kematian, hidup setelah mati dan keselamatan, adalah agenda pokok dan diskursus keimanan. Karena iman selalu menuntut jawaban dan sikap yang serba pasti dan mutlak, sementara manusia menyadari akan keterbatasan dan kelemahan dirinya, maka persoalan iman cenderung menimbulkan ketentraman tetapi sekaligus juga kegelisahan dan keraguan.
Tidak ada iman yang tidak dibuntuti unsur keraguan dan ketidaktahuan di dalamnya. Bagaimana mungkin manusia yang lemah dan terbatas ini mampu memahami Dia yang Maha Gaib dan Absolut?. Maka orang bijak pernah berkata, adalah terlalu sombong bila seseorang mengaku paham dan kenal Tuhan, tetapi juga suatu kebodohan jika orang tidak melihat Tuhan yang begitu nyata dan gamblang adanya.
Dalam iman Kristiani diyakini bahwa Tuhan hadir dalam sejarah dalam sosok Yesus Kristus. Maka "kehadiran" merupakan pintu perjumpaan dan dialog bagi orang Kristen dengan Tuhannya. Tuhan Yesus adalah sosok sentral yang menghubungkan Tuhan Allah dengan manusia. Lewat penyaliban Yesus itulah kasih dan tangan penyelamatan Tuhan Allah dijulurkan kepada semua manusia agar manusia menyambutnya dalam rangka mendapatkan keselamatan. Penerimaan dan tafsiran terhadap Yesus pertama didasarkan pada iman, baru kemudian dibantu penafsiran dan justifikasi historis.
Berbeda dari iman kristen, dalam Islam diyakini bahwa Tuhan hadir dalam "kebenaran" sabda-Nya, baik berupa ayat-ayat kosmologis, karena itu pemahaman secara rasional akan "kebenaran" ayat-ayat Tuhan merupakan titik tekan dalam iman islam. Jika "kehadiran" Tuhan dalam iman kristen menjelma dalam darah dan daging Yesus, maka dalam Islam "kebenaran' menjelma dalam wujud Al-qur'an.
Alqur'an itu adalah ayat-ayat yang dikomunikasikan Tuhan bagi manusia. Ayat, sebagaimana juga kata alam, artinya tanda. Semua bentuk yang punya ketajaman rasa dan analisis untuk memahaminya. Dunia ini dipenuhi dengan tanda-tanda, sejak yang bertebaran  dalam alam raya, dalam diri kita sendiri, maupun terefleksikan dalam perilaku sosial. Antara Tuhan, alam semesta, dan manusia di sana terjadi semacam lingkaran dialog hermeneutik. Semakin seseorang cerdas mengajukan pertanyaan, semakin cerdas pula alam memberikan informasi dan pesan dari Tuhan.
Oleh akal manusia, Tuhan kadang kala terkesan bagaikan main "petak-umpet". Dia berbicara pada kita di balik tabir. Dia sembunyi tetapi minta dicari, sementara manusia dari abad ke abad selalu mencari-Nya, tetapi dia selalu juga sembunyi. Telah berlangsung ribuan tahun manusia berdialog, diskusi, berantem dan berperang gara-gara berkompetisi ingin mencari dan menemukan Tuhan secara benar dan meyakinkan. Masing-masing kelompok mengaku kenal dan memiliki Tuhan, bahkan merasa paling dicintainya, dan kadang kala disertai sikap untuk mencemooh dan menganggap orang lain salah, tak berhak menerima cinta Tuhan.
Aneh tapi nyata, tiga agama besar warisan Ibrahim mengaku sebagai agama monoteisme, tetapi masing-masing pengikutnya cenderung bersikap ekslusif. Terdapat kesan, masing-masing pemeluk agama tadi menggambarkan Tuhan sebagai Tuhan cemburuan. Seakan ketiga agama masing-masing mempunyai Tuhan yang berbeda-beda, dan ketiganya terlibat kompetisi untuk saling meraih pemuja-Nya sebanyak mungkin. Benarkah demikian ?. kalau pencarian Tuhan dan sikap iman itu mengandung unsur ketidaktahuan dan relativisme, maka barangkali sebaiknya beragama itu disertai sikap rendah hati, terbuka, inklusif, dan dialogis. Sikap lapang, terbuka dan kritis akan senantiasa memperkaya wawasan, pengetahuan dan pengalaman beragama serta lebih mendekatkan pada jalan kebenaran.

Komentar

Postingan Populer