TUHAN YANG DICIPTAKAN DAN TUHAN YANG SEBENARNYA
1.Tuhan yang
Diciptakan
Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi
terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh,
"menuhankan", kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap
kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan
orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu
adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh
orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai
manusia
"Tuhan
kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah
fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan"
(al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq
al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam
kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).
Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini
diterjemahkan dengan "kepercayaan",
berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat; mengikatkan
dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan, mengunci;
mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan; melengkungkan,
melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan, mengadakan rapat,
mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak.
Kata i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau
figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka
i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat
dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah
benar. Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan
(binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud
Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek
manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan
dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu
tergantung kepada "kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i)
masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan
universal" (al-isti'dad al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada sejak
azali dalam "entitas-entitas
permanen" (al-a'yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan
diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya
sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang
akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan dalam
kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian,
Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam
kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah
identik dengan kepercayaannya.
Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan
firman-Nya, "Dia memberi segala
sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab
antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya;
jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata
tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan
yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh
kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia
dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163
"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau
bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang
diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan
yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan,
dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang "ditempatkan"
oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan
"diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk",
"gambar", atau "wajah" Tuhan seperti itu ditentukan atau
diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai
kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui.
Dengan mengutip
perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana
yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa
Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan
hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann 'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan
diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam
pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan
dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku"
(Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia
dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita
harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha
Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh
bersangka bahwa Tuhan adalah "pengawas
yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan
baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita
mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan
buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya
berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan
Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya,
mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang
filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh
dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya
sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia,
tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan
menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan
mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka
sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek,
sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan
berambut merah.166
Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan
kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia. Barangsiapa yang memuji
ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi berkata:
Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang
mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang
dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa
ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang
sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa
pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena
penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika
ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan
memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan
mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167
Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan
kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang
penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat.168 Nabi menceritakan
bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia
dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang
yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya.
Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga,
tidak lain.
Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan
Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah
mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun
jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena
Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak
berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan" orang awam itu
tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau
akan dikasihi oleh siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi,
yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud dengan "siapa yang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan.
Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam
kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"),
"Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit] ("the Heavenly
God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial
Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan,
dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan
menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar
dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang
"laki-laki", atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang
"laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam
kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan
Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan
kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami
Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi
feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan
sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan
Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah
seorang "person," seorang "pribadi". Itulah sebabnya
mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk
Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti
ini bukan "impersonal", bukan "tak-berpribadi", dan, karena
itu, Dia bukan "Itu" ("It").
Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe
kepercayaan kepada Tuhan, terhadap "Tuhan kepercayaan", dibuktikan
oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang
berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup
dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang
berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup
dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang
nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di
padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari
langit.
Ibu Bumi atau
Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau
bumi.169 Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit
dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu
dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih
cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena
diturunkan dari langit, sering disebut "agama-agama samawi",
"agama-agama langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka
ungkapan-ungkapan simbolis, seperti "turun
dari langit", "naik ke
langit", dan "berada di langit", lazim digunakan untuk
melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.
Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah
simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum
monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan
simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak
lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.
Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau
mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh
karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam
kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui.
Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau
kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk
berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua
bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik
Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang
mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang
Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam
lingkungan orang-orang yang berbeda agama.
Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:
Maka
berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu
kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain
yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang
banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu
yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar
untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana
pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan
arah tertentu mana pun.170
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi
dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk
kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh
"para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu, "para gnostik",
yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran,
atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua
kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama.
Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak
akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah
diri-Nya."171
2. Tuhan
Yang Sebenarnya
Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya,
Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan
dalam arti ini oleh Ibn al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya",
"the Real God" (al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut",
"the Absolute God" (al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak
Diketahui", "the Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam
arti ini adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali
berbeda dengan alam, transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q., s. al-Syura/42:11).
"Penglihatan tidak dapat
mempersepsi-Nya, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s.
al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara
absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam
keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami
manusia. Dia adalah "yang paling
tidak tentu dari semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui"
(ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn
al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" (al-ghayb al-muthlaq) atau
"Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut
penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam
keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).
Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui
oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan
Tuhan. Beliau bersabda: "Berpikirlah,
tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah."
Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid.
Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi:
"Allah memperingatkan kamu tentang
diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi menegaskan sebagai
berikut:
Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah
kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional
maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah
yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah
memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu
"Jangan kamu berpikir tentang-Nya
[Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara
Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172
Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama,
karena Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun.
Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula
dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan,
tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah,
karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.173
Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar
larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan
dengan al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia
memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.
Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan
pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan,
meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami
oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan
menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran
Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir'awn dan membebaskan bangsa
Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang
nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14).
Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah
Aku" ("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I
will be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka
tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang
esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, "Wujud ('Being')
yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang adalah Wujud"
("Being that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh
eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan
hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan
pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah
disebut Ain, "Ketiadaan" ilahi (the divine "Nothingness").174
Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk
menekankan ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh
sehingga mereka berbicara tentang Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia Yang
adalah Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan
bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula
sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan
demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.175
Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak
dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan
agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan
atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya
bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai
Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan
kemuliaanNya, Dia berfirman: "Engkau
tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang
wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu.
Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu
itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku
akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku
tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23).
Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun
tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St.
Yohanes mengatakan: "Tidak seorang
pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada
Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam
dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan
memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1 Timotius 6:16).
Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode
Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan
Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah
dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman
(incomprhensibility) Tuhan.176
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan
tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi
keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu,
mengatakan:
Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak
terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak
kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang
diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita
ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi
dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah
wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya
pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang
disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat
--ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia.
Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar
--ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia.
Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu
adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau
mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa
engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri
anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau
dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena Upanisad).
Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun
dan selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka
Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan ini, bukan itu" ("neti,
neti"). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat
("nirguna"). Karena itu, Brahman pada tingkat ini disebut
"nirguna Brahman". Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam
keabsolutan-Nya.
Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya
dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang
sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang
sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina
abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan:
Tao Yang
Agung tidak dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi
Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan
Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan
Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian
Yang Agung bukanlah menyerang;
Jika Tao
dijelaskan, itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze, Bab 2)
Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat
diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah
Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang
Absolut itu oleh Laot-Tze disebut "Misteri
di belakang segala misteri" ("hsuan chih yu hsuan") dan oleh
Chuang-Tze disebut "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa",
"No-No-Nothing", atau "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud",
"Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu
'tiada-apa-apa' yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di
seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".177
Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi
disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling
Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam
tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".
a.Teologi Apofatik
Dalam konteks ini, salah satu persoalan
teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan
mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan
yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan
alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan
yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan
manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik
Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai
persoalan "mengatakan apa yang
sesungguhnya tidak dapat dikatakan" ("saying what cannot really be
said").178 Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan
ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti ”membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking of the
unspeakable"),179 "mengetahui
Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable
God"),180 "menamai yang
tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak dapat dinamakan"
("naming the unnamable"),181 "mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the
inexpressible"),182 "memikirkan
yang tidak dapat dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"),
"memahami yang tidak dapat dipahami" ("comprehending the
incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat dibayangkan"
("conceiving the unconceivable"), dan "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing
the indescribable").
Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini
adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik"
("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the
theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman transenden
tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak
mengetahui" ("knowing by unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat"
("seeing that is not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis
spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing,
adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan
teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian:
"kita dapat mengetahui lebih banyak
tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia"
("we can know much more about what God is not than about what He is").184
Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal
"mengetahui" dan "tidak mengetahui." Menjelang bagian akhir
karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip
kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis
berkata, 'Mengetahui yang paling saleh
[paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak
mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing
of God is that which is known by unknowing'").185
William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah
komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak
mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita
mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".186
Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak
dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan
dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat
dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat
dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187 Menurut
mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari
segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" ("the
blind stirring of love") yang menembus "awan tidak mengetahui",
"awan ketidaktahuan" ("The Cloud of Unknowing"), yang
membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap;
itulah kebijakan tertinggi.
Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh
Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang
rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi.
Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara
afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya
karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan
mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang
diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal.
Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari
Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak
juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi.
Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan
penyucian.
Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai
Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan
disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek
itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam
hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan
cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya
yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam".
Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka
berkuasalah dalam jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic
silence") yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan
visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188 Pengetahuan seperti
ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak
mengetahui" ("unknowing") atau "ketidaktahuan"
("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan
pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.
Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan
adalah dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep,
di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar "kegelapan
ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri
dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan
segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar
sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu
dan "mengetahui dengan tidak mengetahui".
Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar
mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat
ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang "Confessor", Yohanes Scotus
Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of
Unknowing.
Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan
teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang
bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh
manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang
dalam sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat
Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah demi
selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan".189 Ketika itu
Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua
pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau
oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat
ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul
ha-yesy, "kemusnahan
eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang berarti
kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi tentang Ketiadaan"190
Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi
diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang
harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi
tentang Ketiadaan.
Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan
dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar mengetahui Brahman
adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang
mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa
Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang
pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang
Tuhan adalah pengetahuan negatif: "mengetahui
Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya".
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh
dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan
dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil.
Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai
pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul",
karena "pengetahuan kita tentang
Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui
batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah
seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".191
Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a.,
Ibn al-'Arabi berkata:
"Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi"
["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz
'an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi
pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat
diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan
adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang
yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak
mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat
mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan"
(Q., s: al-An'am/6:103)?
b.Catatan Akhir
Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan
manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya.
Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan
"tidak mengetahui" atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di
luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata
dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran,
tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri
untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis
The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak
dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi
dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk
dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb).
Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin
mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan
mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus
mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu benar-benar
mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s.
Alu 'Imran/3:31). "Aku menunjukkan
cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan
mematuhi hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti
perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti
perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya" (Yohanes 15:10).
Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak
akan terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan
sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh
siapa yang di langit". Pada kesempatan lain beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di
antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai
dirimu sendiri." (Lukas 10: 27).
Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah
suatu cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus
atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk
menyuarakan protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan
para filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan
tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan
bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi
apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi
Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya.
Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah
bentuk yang dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk
Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak" akalnya. Ia
menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak
menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah
mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah
"hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd
rabb).
Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.
Catatan
kaki:
163
Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian
(Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121.
164
Fushush, 1:225-226.
165
Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut: Daral-Fikr, t.th.),
4:446.
166
H. Diels W. Kram, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3
vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. Kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens,
Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1989), h. 40.
167
Fushush,1:226.
168
Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali
Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat, 1:314;
2:311; idem, Fushush, 1:184.
169
Raffaele Pettazzoni, "The Supreme Being: Phenomenological Structure and
Historical Development," dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa,
eds.., The History of Religion: Essays in Methodology (Chicago & London:
The University of Chicago Press, 1959, Seventh Impression, 1974), h. 64-65;
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama
(Jakarta: Leppenas,1982), h. 36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu
sebagai Simbol Allah (Yogyakarta & Jakarta: Gunung Mulia &
Kanisius,1983), h. 43-45.
170
Fushush,1:113.
171
Fushush, 1:121.
172
Futuhat, 2:30.
173
Futuhat, 2:69.
174
Leo Schaya, "Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam
Yusuf Ibish and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World
Religions (Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165.
175
Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to Believe (London: Vallentine, Mitchell,
1965), h.14.
176
Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield, Illinois:
Templegate,1990), h. 163-164.
177
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosiphical
Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983), 376, 379; idem,
The Concept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and
Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.
178
Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston, The Mysticism of
The Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire, England: Anthony Clarke,
1978), h. viii.
179
Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford: Oxford University Press,
1982), h. 161-206; James P. Carse, The Silence of God: Meditations on Prayer
(New York: Macmillan, 1985), h. 9.
180
David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas
(Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press, 1986).
181
Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann,
ed., Naming God (New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.
182
Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element, 1993), h.
3; James P. Carse, The Silence of God, h. 9.
183
Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik" ("apophatic")
digunakan oleh Dionysius yang membicarakan "teologi negatif," sebagai
lawan "teologi positif".
184
W. Johnston, op.cit., h.1.
185
The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann (London: Burns and Oates, Ltd.,
1952), 125:11.
186
W. Johnston, op.cit, h.17.
187
The Cloud of Unknowing, 26;3.
188
W. Johnston, op.cit, h. 33-34.
189
Leo Schaya, op.cit, h.166.
190
Ibid.
191
Futuhat, 2:552.
192
Futuhat, 2:619; 3:132.
I Like It
BalasHapus